RIWAYAT
DUNIANYA MAHARESI MARKANDHEYA
Om, tiada terhalang semoga sempurna.
Hormatku kehadapan orang-orang yang sangat bijaksana,
yang sudah puas di Alam Baka, karena dari memgutamakan cerita suci. Itulah
keturunan Wisnu, menjadi raja di Dunia sangat setia.
O, para Dewa semua, hormatku terhadap leluhur hamba
memuji dan memuliakan Ida Bhatara Wisnu. Hanya Ida Bhatara yang memberikan
hidup lahir-bathin, memenuhi segala apa yang bermaksud baik.
Selalu ia
ditempatkan di atas ubun-ubun dan patut dipuja. Tegasnya sekeluarga kami mohon
maaf atas keberanian kami menceritakan-Mu, yang meliputi dunia raya, lagi pula
kami menguraikan isi-isi prasasti, pamancangah dan babad-babad yang kesemuanya
itu menceritakan orang-orang besar yang kini sudah tiada, telah menjadi Hyang
mendampingi Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi.
Semoga penulis selamat, sejahtera dan panjang usia tiada kena kutukan atau sumpah serta diliputi oleh sengsara.
Mudah-mudahan
langgeng abadi masyarakat didunia ini. Ya, semogalah berhasil.
Inilah riwayat Ida
Bhujangga Waisnawa di Bali yang dahulu berasal dari wilayah Pulau Jawa datang
ke Pulau Bali.
Beginilah ceritanya
menurut isi-isi prasasti dan babad jaman dahulu. Adalah seorang Resi yang
bernama Sang Hyang Meru. Beliau itu mengambil seorang istri yang sangt cantik
molek dan sempurna. Tiada diceritakan upacara perkawinannya dan pertemuannya
dipelaminan yang sangat indah itu, maka lama kelamaan istrinya mengandung,
kemudian berputera dua orang laki-laki. Putra yang sulung bernama sang Atayi,
dan yang bungsu bernama Sang Niata, yang kedua-duanya sangat tampan dan elok
serta sangat pandai ilmuan.
Setelah lama maka
Sang Atayi berputra seorang laki-laki bernama Sang Prana. Sang Niata berputra
seorang juga bernama Sira Mrakanda. Mengambil istri yang sangat elok dan cantik
sangat sempurna bernama Dewi Manaswini.
Telah lama mereka
bersuami istri, maka mereka berputra seorang laki-laki bernama Sira Hyang
Maharesi Markandheya.
Om, beliau ku
junjung di letakkan pada ubun-ubun kami, kuanggap sebagai Ongkara (huruf gaib)
yang suci murni, beliau adalah leluhur kami, yang sudah bersatu sama Ida Sang
Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, yang kini selalu dipuja oleh putra-putri
keturunan beliau, karena beliaulah mengadakan kami seketurunan. Beliaulah
dipuja dan diwujudkan kembali di wilayah pulau Jawa. Beliaulah yang mula-mula
menurunkan sekte seperti kami ini.
Om, maafkan kami
agar tidak kena kutukan keturunan kami semua, dan diijinkanlah kami kami
menceritakannya. Semoga selamat sejahtera dan sempurna kami sampai putra-putri
keturunan kami, sentosa tidak akan kurang sesuatu sandang dan pangan. Sekian,
Selesai.
Setelah lama maka
jejakalah Sira Hyang Maharesi Markandheya, kemudian beliau mengambil istri yang
bernama Dewi Dumara. Lama kelamaan mereka berlaki-istri. Kemudian istrinya
berputra seorang laki-laki bernama: Hyang Resi Dewa Sirah. Hyang Resi Dewa
Sirah kawin dengan Dewi Wipari. Kemudian beliau mengadakan putra-putri banyak.
Demikianlah ceritanya zaman dahulu.
Kembali diceritakan
Sang Ila putra Ida Sang Resi Ire Windhu, sebagai siswanya sang Hyang Maha Resi
Agastya. Beliau bertapa dikawasan Pulau Jawa, yang kini sudah bergabung sama
Sang Saptaresi di Sorgaloka. Juga Sira Sang Ari dewa bersama Sang Anaka bertapa
di Dyang, yang kini disebut Di Hyang atau Dieng. Sira Sang Markandheya bertapa
di Gunung Damalung daerah Pulau Jawa. Adapun Ida Maharesi Agastya mengeluarkan
keputusan yang tertulis di atas prasasti Dinaya, sebagai berikut : “Keputusan
Agastyah, pada bulan Hindu) kelipa pada tahun candrasangkala nayana wasurare
(682 Çaka).
Beliau inilah yang
menyebarkan agama Trimurti, kesatuan dan persatuan sekte-sekte pemuja Siwa
pemuja Brahma dan pemuja Wisnu. Agama Trimurti atau pemuja Trimurti itulah
disebarkan beliau, di Jawa, di Bali dan di kepulauan Nusantara lainnya. Lama
kelamaan Ida Resi Agastya disebut juga Ida Bhatara Guru.
Sekianlah banyaknya
Sang Yogi Swara (alim ulama) pada zaman dahulu di jawa berkembang, ada yang
terlunta-lunta dari desa ke desa, ada yang pergi ke Daerah Nusantara, ada yang
ke Bali dan ada juga yang menetap di Pulau Jawa.
Selanjutnya pada
tahun Çaka 769, Sira Bhujangga Guru di Jawa dilantik menjadi saksi dalam
upacara menyelamatkan negara dan melaksanakan tugas Bhuta Yadnya yaitu
menghilangkan kecemaran dan kekotoran negara.
Demikian keterangan
yang tertulis dalam prasasti Jawa.
Kembali diceritakan
Ida Resi Markandheya. Resi Markandheya sudah tamat dari pelajaran yoga
semadinya di asrama Wukir Damalung di pegunungan di Hyang atau Dieng di Jawa
Tengah, sehingga beliau disebut Yogiswara artinya yogi besar. Kemudian beliau
melakukan kunjungan ke tempat-tempat suci ( bertirthayatra ) ke arah Timur dan
akhirnya tiba di pegunungan Raung pada dataran pegunungan Ijen di Jawa Timur.
Pada tempat inilah beliau tinggal sambil membangun asrama dan bangunan-bangunan
suci lainnya sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi.
Beberapa tahun
kemudian karena mendapat ilham lalu beliau pergi ke Timur bersama pengiringnya
orang-orang Jawa pengunungan (Jawa-Aga) sebanyak 800 orang menuju Bali. Di
tempat ini beliau menemukan bangunan suci merupakan batu berundag, pada lambung
gunung tertinggi di Bali. Kemudian gunung itu diberi nama Gunung To Langkir. To
Langkir artinya orang suci (arwah yang suci) atau yang disucikan. Komplek ini
dipandang sangat suci oleh Resi Markandheya. Dari sebab itulah beliau ingin
akan memugar kembali tempat suci itu dengan terlebih dahulu merabas hutan
belantara di sekitarnya. Tetapi sangat malang baginya karena banyak pengiring
beliau kena penyakit dan banyak pula yang meninggal dunia. Dari sebab itu
beliau, memutuskan kembali ke Gunung Raung di Jawa.
Setibanya di Gunung
Raung, segera beliau bersemedi memuja Sang Hyang Widhi hendak memohon
keselamatan dan panjang usia. Setelah beliau mendapat ilham dari Tuhan Yang
Maha Esa, kemudian beliau kembali ke Bali Timur bersama pengiringnya sebanyak
empat ratus orang (400).
Sebagian
pengiringnya ini disuruh membawa balai agung yang ada di Gunung Raung ke Bali
yang akan dipakai untuk rapat-rapat penting di dalam pura.
Di sepanjang jalan
dalam perjalanannya Ida Resi Makandheya ke Bali Timur, selalu beliau disambut
dan dihormati oleh para pengiringnya yang terdahulu datang dan juga yang sudah
memiliki perumahan. Para pengiringnya ini bersama dengan penduduk Bali
bersama-sama mengantar Ida Resi Markandheya.
Tak diceritakan
dalam perjalanan Resi Markandheya, akhirnya beliau tiba di komplek pegunungan
To Langkir.
Tetapi karena sudah
takdir Ida Sang Hyang Paramakawi, sebagaian pengiringnya ini ditimpa penyakit
dan banyak yang sudah meninggal dunia. Oleh karena demikian masalahnya kemudian
Resi Markandheya segera menanam “Pancadatu”
yaitu lima macam logam disekitar komplek To Langkir, disertai dengan upacara
Bhuta Yadnya yaitu sesajen untuk makhluk halus penghuni daerah itu. kemudian
sebagaian anak buahnya itu membuat pondok-pondok untuk tempat tinggalnya.
Beberapa tahun
kemudian, Ida Resi Markandheya pergi ke Barat. Setalah tiba pada tempat yang
agak luas, lalu beliau bersama pengiringgnya merabas dan membabat tanah hutan.
Setelah selesai maka tempat itu deberi nama Desa Puakan, terletak di daerah
sebelah utara Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Puakan berasal dari
kata Uak, artinya buka, tentang tanah atau pagar. Di tempat inilah mereka
membangun rumah-rumah untuk tempat tinggalnya. Ida Resi Makandheya selalu
melakukan tirthayatra serta beryoga memohon keselamatan dan kesejahteraan
pengikutnya. Pada suatu ketika beliau menemukan sebuah tempat yang dipandang
baik untuk melakukan yoga semadi. Tempat itu terletak dekat perpaduan dua buah
aliran sungai. Pada tempat itulah beliau mendirikan pura dan
pelinggih-pelinggih para Dewata –terutama Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kemudian pura ini
diberi nama pura Pucak Payogan atau disebut juga Pura Gunung Lebah, terletak di
Desa Campuhan di sebelah barat Desa Ubud, Gianyar. Segala yang diingini oleh
Ida Resi Markandheya selalu ada. Dari itu Desa Puakan ini disebut juga Desa
Sarwada yang berasal dari kata Sarwa artinya serba dan ada artinya ada.
Dekat pada tempat
itu terdapat Desa Taro, hingga sekarang Timbulnya Desa Taro itu, semula dari
pikiran suci (adnyana) Ida Resi Markandheya. Adnyana berarti kayun (maksud),
kayun dari kata kayu (pohon) dan kayu sinonim dengan taru (pohon) akhirnya
menjadi Taro. Yang kini, dipakai nama Desa Taro.
1) Pura Puncak Payogan letaknya 1,5 Km dari Banjar
Lungsiakan, Kedewatan, Ubud, disebelah utara Desa Payogan. Kira-kira 28 Km dari
Denpasar dan 3,5 Km ke arah Barat dari Desa Ubud.
Juga di tepi sungai
Oos terdapat sebuah Bihara sebagai asrama Ida Maha Resi Markandheya yang
diiringi oleh para siswanya dari putra-putri beliau yaitu Warga Bhujangga
Waisnawa. Di sebelah barat dari tempat yang baru ini, Ida Maha Resi Markandheya
membangun pura yang hampir sama bentuknya dengan pura yang ada di Gunung Raung.
Pura ini diberi nama Pura Murwa. Di depan pura in didirikan sebuah Balai Agung
yang dibawa dari Gunung Raung Jawa.
2) Beberapa abad kemudian, yaitu pada abad ke-19 Balai Agung
yang dibawa dari Jawa (Gunung Raung) di bagi-bagi untuk tempat persembahyangan
masing-masing kerajan di Bali.
Pembagiannya sebagai berikut :
1. Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Paiyangan
(Payangan) dipelihara dan dipergunakan oleh Kerajaan Mengwi, Badung dan Tabanan.
2. Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Taro,
dipelihara dan dipergunakan oleh kerajaan Jembrana.
3. Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Batur,
dipelihara dan dipergunakan oleh kerajaan Buleleng dan Bangli
4. Dua belas ruang (petak) ditinggalkan di Desa Besakih,
dipelihara dan dipergunakanoleh Kerajaan Karangasem dan Klungkung.
Balai Agung ini
sungguh balai yang sangat besar, yang mula-mula dipergunakan untuk tempat tidur
bagi pejabat-pejabat adat di dalam pura. Balai Agung ini terdiri dari 48 ruang
atau petak-petak dengan ujung atas (ulu) ada di tangkup dan ujung bawah (teben)
ada di pagut. Sebuah kentongan (kulkul) yang dibuat dari pohon siligui juga
dibawa dari Gunung Raung, Jawa.
Resi Markandheya di
samping membangun tempat-tempat persembahyangan, juga beliau memperbaharui
ajaran Agama, yaitu persembahyangan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang
Maha Esa, dengan alat-alat sesajen yang terdiri dari tiga unsur benda alam
yakni : Api, Air, dan bunga harum. Selanjutnya segala sesuatu yang harus
dikerjakan didahului dengan sesajen kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga
pekerjaan itu selesai, dengan baik dan mendapat selamat.
Tiada diceritakan
lamanya beliau tinggal di Pura Puncak Payogan, di tepi aliran Sungai Oos,
kemudia pada tahun Çaka 858 bulan Hindu Phalguna, tanggal 3 (tiga) bulan paro
terang, dalam pemerintah Raja Sang Ratu Sri Ugrasena di Bali. Ada sekelompok
Warga Bhujangga Waisnawa yang pergi menuju daerah Tamblingan. Pada tempat yang
baru itu mereka membangun rumah-rumah Pura, Bihara atau Pasraman dan lain
sebagainya. Lama kelamaan ada lagi keluarga mereka yang meninggalkan tempat
itu, pergi menuju daerah Bantira dan Sukawati.
Demikian Selesai.
Dalam pemerintahan Sri
Maharaja Sang Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma
Udayana Warmadewa pada tahun Çaka 1915, pada saat itu Ida Sang Bhujangga Diah
Kuting dilantik menjadi Senapati Kuturan bertugas untuk menyelamatkan dan
mensejahterakan Negaranya semua.
Baginda Ratu Sri
Gunapriya Dharmapatni ini berasal dari Pulau Jawa, Putri dari Raja Sri
Makutawangsawardhana. Dahulu baginda putri ini bernama Mahendradatta.
Sekarang
diceritakan ada seorang Resi Bhujangga Waisnawa yang sudah tamat dari pelajaran
(putus) bernama Hyang Resi Wisnu Sunia Murti. Beliaulah patut diutamakan
disembah, karena beliau sangat utama dan sangat berjasa.
Hyang Resi Wisnu
Sunia Murti mempunyai istri yang sangat cantik paras mukanya, bernama Dewi
Indra Karena. Dari perkawinan mereka itulah melahirkan dua orang putra
laki-laki, yang sulung bernama Mpu Kuturan dan yang bungsu Mpu Bharadah.
Sebagai orang tua, Hyang Resi Wisnu Sunia Murti selalu mengajar putra-putranya
tentang tatwa-tatwa (falsafah) Agama dan tata cara kehidupan menjadi manusia
yang baik dan berguna di masyarakat.
Setelah kedua
putranya itu dewasa dan juga sudah mahir akan ilmu-ilmu yang diterima dari
ayahnya, kemudian penguasa atau raja di Bali, yakni Sang Ratu Sri Gunapriya
Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa, mengangkat Sri Mpu
Kuturan sebagai pendeta Istana (Pantida purohita) bertempat tinggal di Asrama
Silayukti, Teluk Padang di Pantai Selatan Karangasem.
Selain jabatannya
itu, beliau juga diangkat sebagai Penasehat Raja dibidang tata politik pemerintahan
dan tata cara melakukan adat istiadat upacara (sactamen) dan Upacara (ceremony)
keagamaan di Bali.
Sang Ratu Sri
Gunpriya Dharmapatni bersama Sri Dharma Udayana Warmadewa memerintah di Bali
sejak tahun 989 M sampai dengan tahun 1001 Masehi.
Mpu Bharadah karena
tidak diajak diasrama Silayukti, maka pergi ke Pulau Timur, tinggal di asrama
Daerah Kediri, belajar kepada Pendeta Dharmajaya, sebagai paman dari sepupu
ayahnya. Kemudian Mpu Bharadah diangkat sebagai pendeta Istana (Pendeta
Purohita) oleh Raja Airlanggha.
Sira Mpu Kuturan
sangat giat membimbing dan mengajar masyarakat Bali tentang ajaran-ajaran agama
dengan adat istiadatnya terutama sila kramaning Sang Prabhu yaitu pelajaran
tentang memangku jabatan pemerintahan, Silakramaning aguron-guron yaitu
penghormatan kepada nabe (Guru), pengetahuan tentang buana agung (alam semesta)
dan buana alit (dunia kecil / badan sendiri), putra sesana yaitu kebajikan
orang menjadi putra / anak yang baik, dan karmaphala yaitu perbuatan dan
akibatnya. Selain itu beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan, Dang
Kahyangan, Tiga Kahyangan dan memugar pura-pura yang sudah ada.
Candi-candi dengan
Bihara-biharanyapun dibuat pada jaman Mpu Kuturan ini, demikian juga
jalan-jalan yang menuju ke tempat-tempat suci itu dan tempat permandian umum di
bangun oleh Mpu kuturan.
Peraturan dan
konsep bangunan tempat-tempat suci yang dibuat Mpu Kuturan banyak ditatah di
dalam prasasti kuno dan juga ditulis di atas daun lontar.
Tahun berganti
tahun kemudian pada tahun Canda sangkala pintu apit pintu, Içaka 929 (1007) TM,
Sira Sang Mpu Kuturan memberi wejangan kepada sekalian warganya dan generasinya
mendatang. Adapun himbauannya sebagai berikut : “Wahai kamu sekalian wargaku dan keturunannya. Sekali-kali janganlah
kamu melupakan leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa. Jika kamu
lelalaikan itu, niscaya kamu akan dilupakan juga oleh leluhurmu dan Ida Sang
Hyang Widhi, akibatnya kamu akan menderita serta berjalan kian-kemari tanpa
tujuan”. Demikian himbauan beliau. “Demikian
juga, jika ada kecemasan negara, patut dibuatkan upacara dilebur dan diruat
oleh Ida Sang Bhujangga. Apabila tidak Ida Sang Bhujangga melaksanakan
pujaannya, meruat kecemaran negara itu, perumahan, tegalan sawah dan semacamnya
itu, pasti tidak akan mampu”.
Memang demikian
kewajiban Ida Sang Bhujangga. Setelah upacara itu terlaksana, maka selamat dan
sejahteralah negara Bali ini. Demikianlah wejangan Ida Mpu Kuturan di negara
Bali.
Sekarang
diceritakan para bhujangga yang datang ke Bali membawa lontar-lontar pustaka,
terutama : Pustaka Candrakarena, Kiratabasa, Dasanama, Ramayana, Brahmandapurana,
Sabhaparwa, Wirata parwa, Prasthaning parwa, Swargarohana parwa dan sebagainya.
Diceritakan Sang
Raja yang memerintah di Bali. Setelah beberapa tahun lamanya Sri Gunapriya
Dharmapatni bersama suaminya Sri Dharma Udayana Warmadewa memerintah di Pulau
Bali, pada tahun ini juga baginda ditimpa gerig berat dan akan melahirkan
putra, karena baginda mengandung. Banyak baginda mendatangkan dukun yang sangat
mahir dan sakti, juga para pendeta alim-ulamanya datang berduyun-duyun ke
istana raja, hendak mengobati atau mengenakan penawar agar gering baginda
hilang seketika.
Tetapi oleh karena
sudah takdir Ida Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, kemudian baginda
melahirkan seorang putra laki-laki yang rupanya sangat tampan dan elok sekali,
namun Sang Ratu Gunapriya Dharmapatni mangkat, arwah baginda menuju Siwaloka.
Putra baginda yang baru lahir itu oleh para pendetanya, diberi nama anak
Wungsu.
Kemudian beberapa
saat antaranya, ributlah di komplek istana itu, sampai kepelosok-pelosok dusun
ribut, baru mendengar khabar kemangkatan Maharaja yang sangat dicintainya.
Seluruh penduduk pulai Bali berkabung, berbelasungkawa, karena ditinggal oleh
junjungannya. Berita kemangkatan Sang Ratu Sri Gunapriya Dharmapatni sampai ke
Jawa, Akhirnya didengar oleh pendeta Purohitanya (pendeta istana) Sri Aji
Airlangga di jawa, datang menjenguk ke Pulau Bali, hendak akan menghormati
baginda almarhum. “Itulah sejarahmu, pintu apit pintu, Içaka 929”.
Demikianlah yang
tertulis di dalam prasasti yang memakai lambang senjata Cakrasudarsana, yang
disimpan di Pura Batu Madeg di Besakih.
Abu dari bunga
lambang arwah baginda, dipuja di daerah Buruan Kutri, yang disebut Pura Bukit
Bharma.
Baginda Ratu
diwujudkan Durga Mahisa Mardhini, astabhuja, karena baginda dianggap penjelmaan
Dewi Uma, Penganut sekte Siwa.
Setelah lama Sira
Mpu Bharada tinggal di asrama rakanda di Silayukti, kemudian beliau kembali
pulang ke Jawa. Selesai.
Kini Pulau Bali
dipegang oleh suami almarhum, yaitu Sri Dharma Udayana Warmadewa. Putra
almarhum yang dijuluki Anak Wungsu, merupakan adik dari Sri Dharmawangsa
Warmadewa Marakata Pangkaja-Stana utunggadewa, yang menjadi Raja di Bali pada
tahun Çaka 944. Demikian.
Beberapa tahun
kemudian Sira Hyang Wisnu Sunia Murti ayah dari Sira Mpu Kuturan muah Sira Mpu
Bharada, mangkat kembali ke Wisnuloka. Sira Hyang Wisnu Sunia Murti dipuja di
Pura Jati, Kintamani – Bangli.
Selanjutnya pada
tahun Çaka 932, bulan Hundu Kartika, tanggal dua bulan paro gelap, hari
wurukung legi, jumat wuku kulawu, Sira Sang Maha Raja Dharma Udayana Warmadewa,
memberi pengumuman kepada masyarakat terutama kepada Warga Bhujangga Waisnawa
terhadap Desa Wujunghyang[3]
Wejangan baginda :
Kalau ada masyarakat Desa Wujunghyang, mengawini putri-putri wangsa Resi, atau
janda-nya Sang Resi, masalah itu akan dikenai sesajen yang besar dan kurban
yang memakai binatang dan lain sebagainya. Sebaliknya Desa Wujunghyang patut
tenggang menenggang, ambil diambil, bersuami istri sama putra-putri Resi
Bhujangga Waisnawa, dengan tanpa upacara yang besar.
Pada tahun Çaka 933
dalam pemerintahan Sri Maharaja Dharma Udayana Warmadewa ada seorang pendeta
menghadap Sri Paduka Raja dipaseban, menerangkan kerusakan-kerusakan
dipelosok-pelosok Desa di Bali. Maka dari itulah, sebabnya Sri Dangacarya
Bajantika, Dangacarya Nisita, Dangacarya Bhacandra disertai Sang Senapati
Kuturan Dyah Kayop, menyelidiki benar salahnya laporan itu, kepelosok-pelosok
Desa. Jika ternyata benar, maka para Pendeta itu membuat upacara sekedarnya,
untuk menyucikan Daerah yang ditimpa bencana itu. demikian pekerjaan, Sang Guru
Bhujangga Mpu Kuturan Dyah Kayop menyelamatkan negara.
Setelah beberapa
tahun Sri Dharma Udayana memerintah di Bali kemudian baginda wafat kembali
kenirwana (Sorgaloka). Abu bunga perwujudan baginda dipuja di Bayu Weka sebagai
sekte Siwa.
Kemudian pada tahun
Çaka 938 dalam pemerintahan Sira Sang Ratu Adnyadewi di Pulau Bali, Sira Sang
Guru Bhujangga yang bernama Mpu Gawaksa dilantik menjadi Mpu Kuturan oleh baginda
raja, yang tugasnya menyelamatkan dan mensejahterakan negara Bali. Sang Ratu
Adnyadewi menjadi raja di Bali membuat pengumuman untuk Warga Bhujangga semua.
Wejangan Baginda “Jika ada Pendeta yang meminta-minta (fakir miskin) yang
tinggal di pertapaan atau pasraman, lalu pendeta itu meninggal dunia, mayat
pendeta itu harus dibuatkan upacara sekedarnya dan hak miliknya yang beliau
miliki, harus dimasukkan ke asrama atau pertapaan. Kewajiban Ida Resi Bhujangga
antara lain : menyucikan kecemaran dan kekotoran negara mengadakan upacara
kurban mabalik-sumpah (upacara kurban yang besar), meruat orang cemer,
melakukan tenung, melakukan perbintangan, menangkal ilmu sihir, teluh teranjana
dan sebagainya.
Upacara ini harus
dilakukan oleh Ida Sang Bhujangga Waisnawa, karena beliau dianggap sebagai
unsur tenaga sebagai Bima dan juga sebagai Hanoman. Itulah sebabnya Ida Sang
Guru Bhujangga berhak melaksanakan upacara menyelamatkan negara, hutan,
kuburan, jurang dan gunung, karena beliau sebagai Bhatara Guru memakai serba
boleh bebas dari sumpah dan kutukan.
Selanjutnya pada
tahun Çaka 944 (1022 M) dalam pemerintahan Paduka Aji Sri Dharmawangsa-Wardhana
Marakatapangkaja Sthana Utunggadewa, Ida Sang Guru Bhujangga, yang mana
kecilnya disebut Putu-Putu, diangkat menjadi Senapati Kuturan. Selesai.
Kemudian pada tahun
Çaka 972 (1050 TM) dalam Pemerintahan Raja Anak Wungsu, putra dari Sang Ratu
Gunapriya Dharmapatni bersama Sri Dharma udayana Warmadewa, dapat memindahkan
abu-abunga bunda dan ayahanda, kini dicandikan kembali di asrama Amarawati di
tepi aliran sungai Pakerisan, Daerah Tampaksiring, sebagai candi aliran agama
budha, karena Raja Suami istri ini, setelah lanjut usianya mengikuti aliran
Agama Budha. Asrama Amarawati, yang dulu itu kini disebut Gunung Kawi.
Selanjutnya pada
tahun Çaka 1037 (1115 TM), dalam pemerintahan Sri Maharaja Sri Suradhipa,
baginda melantik Ida Sang Guru bhujangga yang bernama Mpu Ceken menjadi
senapati kuturan.
Selanjutnya
diangkat lagi Mpu Jagathita, untuk melaksanakan upacara penyelamatan negara.
Demikian pula pada tahun Çaka 1068 (1146 TM), dalam pemerintahan Sri Maharaja
Jayasakti, baginda melantik Ida Sang Guru Bhujangga Waisnawa yang bernama Mpu
Angrucuk, menjadi Senapati Kuturan.
Kemudian diangkat
pula Mpu Curigaraga bernama Mpu Anggamenang menjadi Senapati Kuturan.
Pada tahun Çaka
1077 (1155 TM) dalam pemerintahan Sri Paduka Maharaja Ragajaya, beliau melantik
Mpu Angga-Menang menjadi Senapati Kuturan.
Diceritakan pada
tahun Çaka 1103 (1181 TM) di Bali diperintah oleh Raja keturunanBhujangga
Waisnawa yang penobatannya diberi nama Sri Aji Jayapangus Arkajalancana. Arkaja
berarti turunan Arka atau Matahari, umum disebut Suryawangsa. Suryawangsa sinonim
dengan Hariwangsa dan Hariwangsa sinonim dengan Wisnawangsa yaitu Waisnawa
namanya.
Sri Maharaja Aji
Jayapangus menjadi raja di Pulau Bali, bersama kedua istrinya yaitu : Paduka
Sri Parameswari Inujaketana dan yang kedua Paduka Sri Mahadewi Sasangkaja
Ketana. Kedua istri baginda itu kesemuanya mengaku keturunan Bulan. Indu dan
Sasangka sinonim dengan Bulan. Sri Maharaja Aji Jayapangus bersama kedua istri
baginda sangat berwibawa dan sangat bijaksana memerintah pulau Bali ini
sehingga masyarakat Bali sangat makmur dan sejahtera keadaannya. Hanya
bagindalah yang dapat membangun masyarakat Bali, karena baginda sangat berguna,
arif bijaksana, dan pandai disegala ilmu pemerintahan, adat dan agamanya.
Permaisurinda dan
seorang Padmi baginda diangkat sebagai pembantu di dalam pemerintahan baginda.
Para pejabat lainnya seperti Mahapatih para Mentri baginda semuanya pandai,
bijaksana, ilmuan dan sangat perwira dalam peperangan dan melakukan agamanya
bila keadaan aman.
Demikian riwayat
baginda pada jaman dahulu. Dalam pemerintahan Sri Aji Jayapangus ini, telah
mengangkat tiga pendeta yaitu : Ida Pendeta Resi Bhujangga Waisnawa, Ida
Pendeta Bodha, dan Ida Pendeta Siwa, yang umum kini disebut Ida Resi, Ida Siwa,
dan Ida Sgatta, setelah baginda dapat menyelesaikan pembambangunan sebuah
prahyangan Widhi (Pura) yang diberi nama Candi Dasa. Selesai pada sakala : wani
sasih angalih, Içaka 1112 (1190 TM). Pada bulan Phalguna, tanggal lima bulan
paro terang hari tungleh, wage, kamis wuku julung pujut, pada saat itulah Sri
Maharaja Aji Jayapangus mangkat, arwah baginda menuju Wisnuloka.
Abu-abu simbul
perwujudan baginda dipuja di dalam Pertapaan Dharma Anyar. Di depan pertapaan
itu terdapat sebuah bangunan suci yang disebut Pura Panti, diemong oleh orang
suci Dang Acarya Jiwajaya.
Beberapa tahun
berselang setelah mangkatnya Sri Maharaja Aji Jayapangus, negara menjadi kacau
balau, karena belum ada pengganti baginda yang mengendalikan pemerintahan di
Bali.
Melihat keadaan
demikian maka para pejabat pemerintah segera menobatkan dan melantik putra
baginda yang bernama Arjaya Deng Jayaketana baru menginjak dewasa. Setelah genap
usianya lalu baginda nikah sama seorang putri bangsawan. Kemudian baginda
mempunyai putra dua orang laki-laki. Putra baginda yang lebih tua bernama
Ekajaya Lancana dan yang lebih muda bernama Adhikunti Ketana. Karena sudah dari
takdir Ilahi (Ida Sang Hyang Widhi) maka Sri Maharaja Sri Arjaya Deng
Jayaketana mangkat, pulang ke Wisnuloka. Oleh karena demikian, maka segera
dilantik putranya yang sulung dijadikan raja, bergelar Sri Paduka Sri Maharaja
Aji Ekajaya Lancana didampingi oleh ibunda Paduka Tara Sri Maharaja Sri Arjaya
Deng Jayaketana. Pelantikan tersebut dilakukan pada tahun çaka 1122 (1200 TM).
Belum beberapa
tahun baginda memerintah negara Bali, maka pada tahun çaka 1126 (1204 TM) Sira
Paduka Sri Maharaja Aji Ekajaya Lancana mangkat. Agar tidak jadi lagi keadaan
vakum, maka oleh para pejabat segera mengangkat dan menobatkan adinda almarhum,
yakni Sang Adhikunti Ketana menjadi raja di Bali, bergelar Sira Bhatara Guru
Adikunti Ketana. Baginda ini dapat mendirikan asrama dan perhyangan Widhi di
Pulau Bali, terutama pada batas sebelah Selatan Desa Bangli. Pada tempat ini
Baginda mendirikan perhyangan yang disebut Pura Sumaniha, yang dihiasi dengan
sebuah patung yang disebut Makara Dewi. Tempat ini adalah, tempat permandian
Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adhikunti Ketana bersama permaisurinda.
Sebelah selatannya
lagi terdapat sebuah goa yang disebut Goa Mreka sebagai tempat pertapaan Sri
Maharaja. Entah berapa tahun lamanya Ida Bhatara guru memerintah di Bali lalu
baginda berputra kembar buncing. Putra baginda yang laki-laki diberi nama Sang
Dhana Dhiraja-Ketana dan yang putri bernama Sang Dhana Dewi-Ketu. Setelah
mangkat Ida Bhatara Guru adhikunti Ketana, maka abunya simbul raja itu dipuja
pada Candi Manik wilayah Hyang Putih di Desa Srokan.
Oleh karena putra-putri
Bhaginda almarhum, kemudian kedua putra-putri itu dinikahkan, dan langsung
dilantik menjadi Raja, memerintah di Pulau Bali, bergelar Sri Bhatara
Parameswara Sri Wirama Nama Siwaya Sri Dhana Dhiraja-Lancana, dan yang putri
bergelar Paduka Bhatari Sri Dharma Dewi Ketu. Dua sejoli ini juga oleh
masyarakat di Bali disebut Maheswara-Maheswari, akhirnya diucapkan juga oleh
orang dari Nusantara : Mahasula-Mahasuli dan seterusnya diucapkan
Masula-Masuli.
Pemerintahan Sri
Masula-Masuli sangat terkenal dan Negaranyapun sangat amat sentausa dan
sejahtera, baginda sangat tekun taat melaksanakan adat agamanya, selalu
menghayati dan mengamalkan Ilmu Falsafah (tatwa) serta ilmu Perang.
Setelah lama
Baginda memangku kerajaan, kemudian Baginda mempunyai seorang putra laki-laki
bernama Sira Adhidewa Lancana. Sesudah Pangeran ini dewasa, maka Sang Raja
yaitu Sri Maharaja Masula-Masuli Mangkat. Oleh karena demikian halnya, maka
dengan segera pangeran ini diangkat menjadi Raja dengan gelar Paduka Bhatara
Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adhidewa-Lencana. Baginda memerintah di Pulau
Bali pada tahun Çaka 1182 (1260 TM).
Om, Sangat hormat
sangat permohonan maaf hamba, terhadap Ida hatara Hyang Wisnu Murti, yang
kuanggap sebagai Ongkara (huruf gaib) yang suci murni, beliau yang sudah
selesai dalam pelajaran ilmu yang kini sudah kembali ada disisi Ida Sang Hyang
Widhi. Hamba ini selalu menunduk hormat dari bakti kepada beliau mangsud hamba
memohon kesucian lahir-bathinku serta dapat mengikuti jejak beliau dalam Ilmu
fasafah, beliau adalah leluhur Raja-raja Bali asli, terutama Srimaharaja
Masula-Masuli yang sudah terkenal di Negara. Lebih kurang puja bhakti hamba
hendaknya agar hamba tidak terkutuk, kena sumpah dari Ida Sang Hyang yang sudah
menjadi Hyang (men-di-Hyang) tinggal di Wisnuloka. Selesai.
Kembali sekarang
diceritrakan.
Diceritrakan sejak
pemerintahan Sri Paduka SriHyangning Hyang Adhidewa-Lancana di Bali. Sangat
makmur dan masyarakatnya sangat sejahtera. Sekali-kali tidak pernah ada
kesusahan dan kerusakan. Karena Sri Baginda sangat bijaksana, sangat berguna,
dan tidak lupa mendalami pelajaran- pelajaran Ilmu pemerintahan, dan Ilmu-Ilmu
lahir Bhatin. Kebijaksanaan baginda sebagai penjelmaan Sang hyang Wisnu yang
selalu membuat keamanan, kesuburan dan kesejahteraan negaranya.
Telah beberapa
tahun masyarakat itu merasakan makmur dan sejahtera, kemudian tibalah saat
peredaran jaman kacau balau (kaliyuga), sehingga Sri paduka Hyangnig Hyang
Adhidewa-Lancana gelisah resah. Yang menyebabkan penduduk Bali bingung, karena
mereka mendapat khabar, bahwa Raja Kertanegara akan menyerang negara Bali.
Pada tahun
Candrasangkala : badan langit mencari bulan yakni pada tahun çaka 1208
(1286 TM) sira Sang Prabu Kertanegara mengutus para mentri dan bahudanda serta
rakyatnya sekalian, supaya menyerang pulau Bali. Orang-orang yang diutus itu
antara lain : Ki Kebo Bungalan, Ki Kebo Anabrang, Ki Lembu Peteng, Ki Jaran
Weha Desertai dengan prajuritnya lengkap dengan senjatanya menyerang penduduk
Pulau Bali.
Tiada
diceritakannya perjalananya di tengah jalan, akhirnya mereka tiba di desa-desa
yang ada di Bali.
Kemudian dengan
segera penuh perhatian penduduk Bali, bersiap dan lengkap dengan sanjatanya
masing-masing, menghadapi pasukan Singasari itu, tiada terhitung prajurit Bali
yang gugur di medan perang. Semua dusun-dusun hancur, tak dapat dihalangi lagi.
Akhirnya Sri Maharaja Bhatara Prameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewa-Lancana
ditangkap, oleh prajuritnya Raja Kertanegara, terus diangkut ke Singasari,
Jawa. Pada tempat itulah baginda ditahan.
Oleh karena raja
Bali sudah kalah, tidak lama lagi segera Ki Rakryan Demung Sasabungalan
dilantik menjadi raja bawahan di Bali. Kemudian oleh karena Ki Demung
Sasabungalan sudah lanjut usianya maka putranya yang bernama Ki Kebo Parud
dilantik menjadi penguasa di Bali. Entah berapa tahun lamanya Ki Kebo Parud
menjadi bawahan di Bali, barulah aman tentram keadaan Pulau Bali.
Belakangan para
Arya dan para Bhujangganya ikut datang ke Bali serta membawa pustaka-pustaka,
seperti : Adhi-Parwa, Kekawin Arjuna wiwaha, Kresna Yana, Sumanasa-ntaka,
Kakawin Asmaradahana, Wreta sancaya, Lubdhaka, dan ilmu-ilmu falsafah lainnya.
Kemudian pada tahun
Çaka 1246 (1324 TM), Sri Paduka Maharaja Bhatara Guru diangkat menjadi raja di
Bali oleh raja Kertanegara, Beberapa tahun berselang, maka pada tahun çaka 1250
(1328 TM), Sri Paduka Maharaja Bhatara Guru mangkat. Oleh karena itu, segera
putra baginda yang bernama Sri Taruna Jaya dilantik menjadi raja di Bali,
dengan gelar : Sri Walajaya-Kertaningrat, didampingi oleh ibundanya yaitu Dri
Tara Bhatara Guru (paduka janda Bhatara Guru).
Tahun berganti
tahun maka pada tahun çaka 1259 (137 TM). Sri Wilajaya-Kertaningrat mangkat.
Oleh karena demikian maka pemerintahan segera dipegang oleh Sri Asta Sura
Ratna. Bagindalah dinobatkan menjadi raja Bali, karena bagindalah anak raja
almarhumah.
Sejak
pemerintahannya Paduka Sri Asta Sura Ratna di Bali sangatlah aman dan tentram
negara Bali, karena dari kebijaksanaan Sri Paduka sangat berwibawa, pandai
dengan segala ilmu, Baginda beraliran Agama Budha Bairawa, dan tidak mau tunduk
kepada raja-raja Nusantara, lebih-lebih Negara Majapahit.
Lama kelamaan gembar-gembor
baginda samapi ke telinga orang Majapahit, akhirnya didengar oleh Sri Maharaja
Majapahit, yaitu Sri Maharaja Ratu Putri Tribhuwana. Alangkah murkanya baginda
putri, baru mendengar bahwa Raja Bali tidak mau tunduk kepada Pemerintahan
Majapahit. Dari itu Sri Paduka Ratu Tribhuwana, mengutus Ki Patih Gajah Mada
bersama Ki Arya Adityawarma, (Arya Damar) menyerang Pulau Bali.
Tiada diceritakan
peperangan prajurit Majapahit melawan prajurit Bali, akhirnya prajurit Bali
kalah. Sri Ki Kebo Yuwa yang menjabat sebagai Maha Patih muda gugur di
Telagorung di Jawa. Oleh tipu muslihat lawannya yakni Ki Gajah Mada. Sira Kyan
Pasunggrigis yang menjabat Patih Agung Raja Bedahulu, di penjarakan di Desa
Tengkulak. Kemudian diadu ke Sumbawa, Sri Paduka Asta Sura, gering sangat
berat, karena sangat sedih, seakan-akan tidak menghiraukan masyarakat dan
negaranya sehingga terjadi peperangan. Akhirnya baginda mangkat, arwahnya
menuju Wisnuloka. Istana baginda yang ada di Desa Bedahulu, hancur berantakan,
tidak bisa didirikan lagi. Tetapi tempat permandian baginda hingga sekarang
masih disebut Pura Arjuna Matapa.
Oleh karena lama
belum ada raja yang ditunjuk oleh Majapahit, maka keadaan di bali sangat sepi
dan ketakutan. Kemudian pada tahun çaka 1272 (1360 TM) Sri Aji Maharaja
Kepakisan putra seorang Brahmana dari Kediri, diangkat oleh Patih Gajahmada
supaya datang ke Bali. Baginda diantar oleh Resi Bhujangga Waisnawa Mustika
atau dinamai juga Resi Semaranata, segala alat-alat keraton dan pakaian
kebesaran Kadipatiyan, juga keris yang bernama Si Gaja Dungkul, semuanya
menjadi perlengkapan Baginda. Demikian juga Sri Sang Resi Bhujangga Mustika
menghantar ke Bali membawa Bajra Uter, Bajra Padma, Genta Orag, Bajra Ketipluk,
Bajra Sungu dan serba Weda Bhumi Tua, dan Bhumi Kemulan, Reg Weda, Yayur Weda,
Bwat Sot, Pralina, Pengentas Wariga dan lain sebagainya.
Sri Kresna
Kepakisan bersama Sang Bhujangga baginda yakni Ida Resi Bhujangga Waisnawa
Mustika menuju daerah Silangungang yang ada di Bali. Setelah lama baginda ada
di Silangungang, kemudian mereka membangun sebuah tempat suci, yang diberi nama
Batu Ngawus dan Pura Madura. Pura Batu Ngawus dan Pura Madura itu dipergunakan
oleh Ida Pendeta Bhujangga Waisnawa Mustika sebagai tempat untuk metirtayatra.
Sri Kresna
Kepakisan dan Ida Resi Bhujangga ada di Pulau Bali disembah oleh para Arya
seperti Arya Kenuruhan, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya
Belog, Arya Menguri, Arya Kutawaringin, yang terakhir Arya Gajah Para yang
tinggal di Toya Anyar. Di sebelah Utara.
Diceritakan mereka
itu di Watu-Ngungan, seorang Raja dan seorang Resi, dan di antar oleh Dalem
Sala dengan keluarga, mereka sangat gembira melihat pemandangan itu. setelah
puas beliau pergi ke pinggir Asah dan di perjalanan beliau tak lupa memuja
mohon Restu Ida Sang Hyang Widhi. Setelah tiba di pinggir Asah Ida Dalem dan
Sang Maha Resi, mendapat Kurnia dari Sang Maha Kuasa. Yang kemudian tempat
tersebut dinamakan Seseh dan tempat pemujaan di sana sebagai pengestawa
Sanghyang Anantadi dan Sanghyang Samudra. Selanjutnya beliau meneruskan
perjalanan menuju Ujung Bali Selatan. Di sanapun beliau mendapat kurnia yang
Kuasa yaitu Ida Batara anyatuaning Ida Dalem seorang Istri Dewi yang namanya
Dewati istri Yuani. Kemudian sebagai tempat pemujaan di sana dinamakan Pura
Pacatu.
Setelah itu mereka
pergi bersama-sama ke Desa Samprangan melalui pelabuhan Desa Lebih. Dalam
perjalanan ini ikut juga para Bhujangga membawa Pustaka-pustaka antara lain :
Kekawin Desa Warnawa Arjuna Wijaya, Sutasoma dan Lontar Usada.
Setelah tiba di
Desa Samprangan, kemudian Ida Sri Aji Wau Rauh (Sri Kresna Kepakisan)
memerintahkan rakyatnya supaya segera membuat Sawah Pagagan, Pasraman dan supaya
menanam Padi dan Palawija. Sementara gembiralah Masyarakat itu merabas hutan
dan membabat tanah untuk Sawah dan kebun.
Oleh karena Hutan
janggala itu sangat angker, dihuni oleh kala Dedemit dan orang halus, akhirnya
kebanyakan Rakyat Baginda itu ditimpa penyakit keras, ada yang kegila-gilaan
dan ada yang menggigil, yang menyebabkan pekerjaan membangun itu tidak selesai.
Oleh karena demikian halnya, kemudian datanglah Ida Resi Mustika, memohon
kehadapan para penghuni Hutan janggala, agar tidak menyakiti atau menyiksa
mereka yang sedang membangun itu. sebaliknya dimohonkan supaya mereka selamat
dan panjang usia. Selanjutnya Daerah Hutan Janggala itu dibuatkan upacara
kurban Boganana dan angkus, serta pengirimannya menyuarakan sangkala sunggu dan
bajra ute. Akhirnya gegap gempita para butakala, setan, orang halus itu memakai
sajen kurban itu. demikianlah pekerjaan Sang Resi Bhujangga Mustika, demi
keselamatan Sri Maharaja Kresna Kepakisan dan negara Bali.
Selanjutnya pada
tahun çaka 1320 (1398 TM) Ida Sang Wijaya Rajasa, raja daerah wengker,
diperintahkan oleh raja Hayam Wuruk di Majapahit, mendampingi raja Bali.
Demikian ceritanya.
Dalam pemerintahan
Sri Aji Kresna Kepakisan, pada çaka 1272 sampai dengan çaka 1302 (1350 – 1360
TM) yang kemudian dilanjutkan juga oleh Sri Agra Samprangan, rupa-rupa
kebanyakan tiada senang, terbukti karena di sana sini ada pemberontakan.
Oleh karena itu
atas kebijaksanaan Patih Agungnya yang ada di Gelgel, melantik Ida Dalem Ketut
Ngulasir, sebagai Dalem dengan gelar Sri Asmara Kepakisan. Politik
pemerintahannya Dalem Asmara kepakisan (Dalem Ketut Ngulasir) beberapa dengan
politik Pemerintahan Dalem-Dalem sebelumnya. Sebelum Dalem Asmara Kepakisan
memerintah di Bali Desa-Desa Dusun-Dusun yang jumlahnya 39 buah, sering
mengadakan pemberontakan karena mereka tidak setuju diperintah oleh orang-orang
Majapahit. Ke 39 Dusun-Dusun yaitu : Desa Batur, Campaga, Songan, Kedisan,
Abang, Pingan, Munti, Bonyoh, Taro, Bayad, Sraya, Sukawana, Panrajon,
Kintamani, Peludu, Manikliu, Culik, Tista, Margatiga, Munti, Desa Got,
Basangalas, Lokasana, Juntal, Garinten, Nasi Kuning, Puhani, Wulakan, Sibetan,
Asti, Baturinggit, Kadampal, Paselatan, Bantas, Tulamben, Carucut, Datah,
Batudawa, dan Kutabayen. Tetapi setelah Ida Dalem Asmara Kepakisan memerintah
di Pulau Bali ini atas kebijaksanaan Baginda dan juga baginda pandai mengambil
hati rakyat Bali untuk itu beginda dapat mendirikan sebuah monumen merupakan patung
perwujudan raja Tegeh Koripan, Gunung Penulisan, Daerah Sukawana. Di berlakang
patung itu terdapat sebuah prasasti yang menunjukkan selesai pembuatannya pada
tanggal 4 Maret 1430.
Disamping membuat
patung dengan prasastinya, baginda pun bersama Sang Maha Resi bhujangga telah
mendirikan, sebuah Pura besar di Kota Gelgel, yang disebut Pura Dasar tempat pemujaan
seluruh golongan atau sekta yang ada di bali demi kesatuan dan persatuan Suku
Bali.
Kemudian Ida Resi
Bhujangga Waisnawa Mustika meninggalkan daerah Hutan janggala, menuju arah
Timur Laut Desa Klungkung, yang kini disebut Desa Sanggwan (Sela Pegat Lapang)
Sanggwan yang artinya : Se, ngaran Sema ngaran Suci, unggwan ngaran Genah /
Tempat.
Beberapa tahun
beliau tinggal di tempat itu, kemudian beliau mempunyai seorang putra yang
diberi nama Ida Bagus Angker. Setelah beberapa tahun Ida bagus Angker di Desa
Sanggwan, kemudian pergi menuju Desa giri Kusuma. Di sana Beliau bersemadi,
memuja Ida Sang Hyang Widhi. Akhirnya, tempat itu disebut Gunung Sari. Tempat
tinggal beliau disebut Jati Luwih. Karena Ida Bagus Angker Sungguh-sungguh
orang yang sudah tamat dari pelajaran-pelajaran ilmu. Setelah beliau mediksa
(mensucikan diri) maka Ida Bagus Angker bergelar Bhagawan Resi Canggu bersama
Arya Wangbang dengan masyarakat Desanya mendirikan sebuah Parhyangan Widhi,
yang diberi nama Pura Patali. Beliau ini sangat pandai dengan Ilmu Sastra akhli
dalam ilmu Dunia Pana dan Dunia Baka, juga pelajaran-pelajaran Wariga (Ilmu
Perbintangan) dan Ilmu Gaib juga pandai mengobati orang-orang sakit berat.
Sekarang diceritakan beliau pergi dari Desa Jati Luwih menuju Desa Nyitdah.
Pada tempat itulah Ida Bhagawan Resi Canggu mendirikan ssebuah Parhyangan Widhi
yang diberi nama Pura Kalipisan. Setelah lama maka Ida Bhagawan Resi Canggu
mempunyai putra empat orang yaitu : Ida Bhujangga Guru, Ida Bhujangga Kerti,
Ida ayu Mertayoni dan Ida bhujangga Surantaka. Ida Bhujangga Guru di Nyidah
mempunyai putra dua orang, yang sulung bernama Ida Bhujangga Swanita dan yang
bungsu bernama Ida Bhujangga Alit Adiharsa. Entah beberapa tahun kemudian Ida
Bhujangga guru lagi mengambil seorang istri yang sangat cantik molek paras
mukanya, putri dari Ida Dalem Waturenggong namanya I Dewa Ayu Laksemi.
Baiklah sekarang
diceritakan cara perkawinannya Ida Bhujangga Guru dengan Dewa Laksemi.
Diceritakan dalam
pemerintahan Dalem Waturenggong pada tahun çaka 1382 (1460 TM), selama baginda
memerintah di Bali, Baginda dibantu oleh Sang Trini seperti Brahmana Siwa,
Brahmana Bhoda dan Brahmana Resi Bhujangga Waisnawa. Sejak jaman itu terkenal
di sebut-sebut jaman keemasan, jaman kesusastraan. Masyarakat seluruhnya sangat
sukaria. Segala apa yang ditanam semuanya tumbuh dan segala yang dibeli
semuanya serba murah.
Sri Maharaja
Waturenggong mempunyai empat orang, putra laki-laki tiga orang dan seorang
wanita yang tertua bernama : I Dewa Pamayun, yang kedua bernama I Desa Ayu
Laksemi, yang ketiga bernama I Dewa Saganing dan yang keempat bernama I Dewa
Ularan. I Dewa Ayu Laksemi bersama I Dewa Ularan beribu Panawing, bukan lahir
dari Permaisuri.
Setelah semuanya
remaja, maka mereka belajar kepada Sang Trini. I Dewa Pamayun bersama I Dewa
Saganing berguru sama Pendeta Siwa, I Dewa Ayu Laksemi berguru sama Pendeta
Bhoda dan I Dewa Ularan berguru pada Pendeta Resi Bhujangga Waisnawa. Sesudah
lama mereka berguru kepada Sang Katrini, Raja Putra Raja Putri itu akil balik,
semuanya semakin tampan, dan cantik. I Dewa Laksemi sangat cantik jelita paras
mukanya dan tubuhnya yang ramping itu sangat menggiurkan para pemuda yang
memandangnya. Akhirnya I Dewa Laksemi diperistri oleh Sang Bhujangga Guru
sebagai permaisuri. Dalam perkawinan itu I Dewa Ayu Laksemi membawa
barang-barang bukti perkawinan (Raja Panomah) baru diketahui sikap Sang
Bhujangga demikian rupa, maka para pendeta Siwa dan Bhoda yang menjadi guru itu
sangat benci kepada Sang Bhujangga Guru itu. Terutama yang paling murka adalah
Sri Maharaja Waturenggong yakni ayahnda I Dewa Ayu Laksemi. Selanjutnya Baginda
memerintahkanprajuritnya untuk membunuh Sang Bhujangga itu. demikian perintah
Sri Maharaja, tetapi sebelum prajurit menyebar hendak menangkap, Ida Sang Bhujangga
sudah tiada, bersembunyi pergi ke Gunung Sari.
Beberapa tahun Ida
bhujangga Guru bersama Istri I Dewa Ayu Laksemi tinggal di Gunung Sari,
kemudian mereka mempunyai putra tiga orang. Putranya yang tertua bernama Ida
Bagus Adi Guru. Setelah dibuatkan upacara penyucian (Padgala), diberi nama Ida
Bhujangga Resi, bertempat tinggal di Watuwulan Pegambangan. Putra yang kedua
bernama Ida Bhujangga Arya Subrata bertempat tinggal di Klating dan putra yang
ketiga Ida Bagus Cakra, setelah dibuatkan upaara penyucian diberi nama Ida
Bhujangga Resi Cakra, bertempat tinggal di gunung Sari.
Sekarang
diceritakan Bhujangga Alit Adiharsa di Gelgel selalu memuja mendoakan
keselamatan negara. Berselang beberapa harinya datanglah Ida Bhoda ke Bali,
lengkap membawa alat-alatnya, seperti Brahma Anglayang, Campor, Talo Siwa
Mandala, Kusuma Dewa, Widhi Papincatan, Sarwa Dresti Agama, Dewa Gama dan Adhi
Gama.
Sang Brahmana Siwa
putus yaitu putra dari Pendeta Bahurauh bersama Ida Bhujangga Alit Adiharsa
mengadakan pertemuan di Gesa Gelgel. Beliau-beliau itu dianggap Pendeta
Purohita yakni Sang Katrini. Sungguh berbeda-beda pelaksanaanya namun tujuannya
tunggal, mensejahterakan dan mengamankan negara.
Ida Sang Siwa
(Peranda Siwa) mengukuhkan weda dan tapa brata, bertempat (agriya) di Belahan
Sungai Unda. Ida Sang Bodha (Peranda Bodha), mengukuhkan keselamatan negara,
puja-weda dan obat-obatan, bertempat tinggal (agriya) di Karang Olang. Ida Resi
Bhujangga Waisnawa (Peranda Resi Bhujangga), mengukuhkan Puja Weda, Tenung dan
meruat kekotoran negara dan memulihkan kembali cacat dan noda masyarakatnya,
bertempat tinggal (Agriya) di Setra Ganda Mayu mewilayahi pekarangan setra dan
Pura Dalem.
Itulah yang bernama
Sang Katrini yaitu ; Siwa, Sada Siwa, dan Paramasiwa, sama-sama memiliki wewenang
menyelamatkan negara. Itulah sebabnya, mereka itu tidak boleh saling membenci,
mereka bebas dari iuran dan pajak, karena sudah bertugas menyelamatkan negara,
memakai puja, Bajra dan sebagainya. Sang Siwa, dan Bodha penjelmaan Sang Hyang
Suniamurti, semuanya memegang Bajra. Ida Resi Bhujangga Waisnawa penjelmaan
Sang Hyang Suniya Hening, memegang Bajra banyaknya lima buah.
Pada tahun çaka
1573 (1651 TM) Ida Bhujangga Alit Adiharsa pergi menuju Desa Kunir Ledah
(Nyitdah) hendaknya akan berasrama di Desa Jati Lewih bersama ayahnya yaitu
Sang Bhujangga Guru. Telah lama Ida Bhujangga Alit Adiharsa diasrama Jati
Lewih, kemudian ia kawin dengan Ni Luh Arti dari Ki Pasek Sumerta yang berasal
dari Desa Sumerta. Selanjutnya ia berputra tiga orang anak, yang tertua bernama
Ida bagus Sumerta, yang kedua putri bernama Ida Ayu Badri dan yang ketiga
laki-laki bernama Ida bagus Catuspata.
Diceritakan dalam
pemerintahan Sri Dalem Saganing sejak tahun çaka 1580 (1658 TM) di Bali
keadaanya hancur lebur karena Raja Bali banyak memiliki istri, dan tidak ingat
kepada kehidupan rakyatnya, sandang, pangan dan lain sebagainya. Oleh karena
demikian maka segeralah Ida Bhujangga Alit Adiharsa menasehati Dalem, tujuannya
agar jangan terus langsung mengambil istri saja, mengakibatkan rakyat menjadi
kacau balau. Tetapi karena sudah diselubungi oleh nafsu, maka Raja menjadi
sangat murka kepada orang yang menasehati itu. semua nasehatnya itu tidak
disetujui oleh Dalem. Oleh karena demikian masalahnya, lalu Ida Bhujangga Alit
tidak dihiraukan oleh Dalem. Dari itulah Bhujangga Alit pergi dari Gelgel
terlunta-lunta menuju ke Setra Ganda Mayu. Ditempat itulah beliau tinggal.
Sepeninggal Ida Bhujangga Alit Adiharsa, maka kewibawaan Sri Maharaja Kabur,
hilang kebijaksanaan Baginda, kegunaannya juga hilang karena diselubungi oleh
panca indra.
Akhirnya negara
menjadi gaduh, huru-hara rakyat disurupi angkara murka, sentimen, perkosaan
banyak, saling caci makim banyak penjahat, perampok saling bunuh membunuh. Hama
banyak di ladang, di sawah, hingga tanam-tanaman tiada menghasilkan terutama
padi, jagung dan semua palawija rusak tiada berbuah.
Oleh karena
demikian keadaan paceklik negara dan kekacauan masyarakatnya, maka Sri Maharaja
sangat susah memerintah negaranya. Belakangan Sri Maharaja segera merapatkan
para yoginya semua, guna memperbincangkan masalah kekeruhan tersebut. Setelah
parayogia bersama para pendeta itu berdatangan, bertemu muka dan temu wicara,
kemudian Sri Maharaja memberi wejangan dipaseban dimuka para yogia dan para
pendetanya.
Sabda baginda :
“Yang terhormat para yogia, para pendeta, patih, tandamantri semuanya, apakah
kiranya yang menyebabkan negara kita menjadi kacau, gelisah, sering terjadi
huru-hara, paceklik, rakyat saling bunuh-membunuh, banyak orang sentimen
penyakit banyakm begitu pula banyak lagi kegelisahan lainnya. Inilah yang
menyebabkan aku sedih sesak pikiranku. Apakah yang menyebabkan itu?”
Demikian sabda
baginda dengan bersedih hati.
Mendengar wejangan
baginda itu, maka segeralahpatih baginda menyembah, “Yang mulia, tuanku Sri
Maharaja, junjungan kami, sungguh sebagai bulan kesiangan wibawa paduka raja”.
Kemudian disela oleh haturnya Pendeta Bodha, yang ditujukan kepada para yogia
semua, katanya : “Wahai bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian, saya ingin
bertanya kepada bapak sekalian. Siapakan yang sebelumnya atau yang terdahulu
pernah membuat dan melaksanakan upacara demi untuk keselamatan negara kita
ini:. Itulah yang oatut diterangkan atau dihaturkan kehadapan Sri Maharaja!”
Semua orang yang
ada di paseban, diam seorangpun belum ada berani yang mengungkapkannya. Dari
itulah murkalah Sri Maharaja karena pertemuan yang diadakan itu buntu. Akhirnya
bagindapun bangkit terus berjalan masuk ke dalam istana. Kecuali Sri Maharaja,
rapat itu masih dilanjutkan oleh para yogianya semua. Pendeta Bodha itu terus
menanyakankepada sidang siapa dulu-dulunya yang melakukan upacara untuk
menyelamatkan negara.
Tiba-tiba terdengan
seorang tua dari pesisir Desa, Sembahnya : “Yang sangat hamba junjung para
yogia dan para pendeta sekalian”. Maafkan sembah hamba ini, orang dari dusun,
dungu, nestapa, benar salahnya, hamba tiada tahu yang sebenar-benarnya. Kini
ada seorang tua yang menghamba kepada Ida Bagus alit Adiharsa di Setra Ganda
mayu. Setiap apa yang dikerjakan oleh orang tua itu, justru sama dengan
orang-orang yang masih muda. Menurut hemat hamba, apakah tidak sebaiknya orang
tua itu kita harapkan penjelasannya demikian sembah orang dusun itu. mendengar
kata itu maka Sang Paduka Siwa, Sang Pendeta Bodha serempak berkata, “Ya jika
memang demikian masalahnya, sebaiknya orang tua itu kita panggil supaya datang
bersama Ida Bhujangga Alit Adiharsa untuk menerangkannya, kata Pendeta itu
sambil menyuruh orang dusun itu untuk mendatangkan orang tua itu.
Baiklah kini hamba
pamit demikian sembahnya sambil berjalan keluar istana.
Tiada diceritakan
dalam perjalanannya, segera tiba orang dusun itu di Setra Ganda Mayu. Setelah
ditemui orang tua itu, lalu orang dusun itu menyampaikan apa yang telah
diutusnya. Setelah selesai mereka bertanya jawab, kemudian ketiga orang itu
bersama-sama berjalan ke istana.
Oleh karena
perjalanan mereka cepat-cepat, jadi segeralah mereka tiba di istana. Mereka
sangat hormat menghormati para sidang di pendopo.
Setelah mereka
duduk dengankhidmat, kemudian Ida Pendeta Siwa berkata : “Wahai bapak Kotenu,
baru datang?, kami semua mengharapkan kedatangan bapak, tidak lain untuk
menerangkan keadaan-keadaan masa yang lalu rupanya bapak sudah mengetahui
siapakah pada masa yang lalu menghantarkan caru yaitu korban suci untuk pujaan keselamatan
negara, sehingga negara kita makmur sejahtera dan aman. Demikian sabda Pendeta
Siwa, yang ditujukan kepada bapak mangku Kontenu.
“Om, Swastyastu,
Bapak-bapak yang terhormat, terutama para Pendeta yang hamba junjung sekarang
hamba akan menjelaskan, siap yang patut melaksanakan pujaan keselamatan negara
pada waktu sebelumnya, artinya pada jaman atau masa yang lalu. Tetapi benar dan
salahnya hamba mohon dimaafkan, karen hamba ini adalah manusia sudah tua rukuh,
sudah lupa-lupa ingat.
Seingat hamba,
semenjak dahulu terutama sejak Sri Dalem Waturenggong yaitu ayahanda Sri Dalem
sekarang yang memerintah di Bali, yang selalu bertugas untuk melaksanakan
upacara menyelamatkan negara Bali, tiada lain adalah Ida Resi Bhujangga. Beliau
itulah yang meruat kekotoran, papa neraka manusia dan menyucikan negara Bali
ini, yang akibatnya menjadi aman sentaosa lahir bathin. Demikian, sembah Mangku
Kontenu itu dengan hormatnya. Sebelum Ida Pendeta Siwa akan berbicara dengan
Ida Bagus Alit, tiba-tiba pada badan Bhujangga Ida Bagus Alit, tampak jelas
wajah mykanya seperti Ida Resi Bhujangga Waisnawa. Beberapa saat lalu ributlah
keadaan pertemuan yang ada di pendopo Istana. Gegap gempita, sedih bercampur
kasihan, mereka baru mendengar suara Genta, Sangkakala (Sungu) yang tidak ada
orangnya, menggema keangkasa menyebabkan alamat gempa, guruh, halilintar sambar
menyambar dan hujan gerimis. Di langit tampak pelangi yang melengkung, ada yang
berdiri, (teja-kuung, tejangadeg) serta di sungai sugnai banjir bah / agung
sangat besarnya.
Diceritakan
sekarang sangkunya yang dipegang oleh Ida bagus Alit, dengan mendadak berisi
air suci. Air suci itu lalu dipercikkan di balai pendopo, kemudian disuruh
memberikan kepada Desa-Desa sampai kepelosok-pelosok Dusun, yang ada di Bali.
Penuh sesak, berjejal-jejal keadaanya sekeliling itu, terutama para mahapatih,
tanda manteri, manca punggawa, para-juru. Ida Pendeta Siwa dan Ida Pendeta
Bodha menyaksikan Bhujangga Ida Bagus alit mengantarkan sajen pujaan di
balai-balai istana. Ikut juga meriahkan upacara itu, Gong-Lwang, Gong Gambang,
Gender, Angklung, Joged, Legong, Gambuh, Wayang dan semacam tari-tarian lainnya.
Ida Dalem yang
memerintah di Pulau Bali, menghadapi upacara itu atau menyaksikan upacara itu
yang sedang dilaksanakan oleh Bhujangga Ida Bagus Alit. Setelah Baginda
menyadari, maka Baginda sangat gembira. Ida Dalem Saganing bersama Sang katrini
yaitu : Ida Pendeta Siwa, Ida Pendeta Bodha dan Ida Pendeta Resi bhujangga
Waisnawa, Para juru sekalian serta Mangku Kontenu, berbincang-bincang di balai
pendopo istana. Pelaksanaan ini dilakukan selama satu bulan selesai.
Tak diceritakan di
Pulau Bali lebih lanjut, sekarang marilah ceritakan di Majapahit, Jawa Timur.
Adalah seorang suci
yang bernama Sang Hyang Sunia Hening bertempat tinggal di Majapahit, mengutus
putra beliau yang bernama Ida Resi Madura, pergi ke Bali. Karena keadaan
masyarakat Bali itu sangat kacau dan rusak. Upacara-upacara di dalam pura
sering kali ditiadakan. Pengurus-pengurus Desanya sering bertengkar satu sama
lain, yang menimbulkan perang Desa antara Desa.
Dahulu adik Ida
Resi Madura, yang bernama Ida bhujangga Aji Manu, datang ke Bali Dwipa yang
maksudnya mengamankan masyarakat di Pulau Bali, tetapi sia-sia belaka. Itulah
sebabnya kini diutus Ida Resi Madura serta membawa lontar pustaka raja lontar
Hindu Bali Daha dan Brahmandapurana. Setelah beliau tiba di Bali Dwipa, dengan
segera beliau mengajarkan dan memberi pengarahan warganya semua para Bhujangga
Waisnawa, yang datang sebelumnya, tentang kebajikan Bhujangga Waisnawa.
Katanya. “Jika
seorang Bhujangga Waisnawa yang tiada tahu akan pelajaran Dharma Pustaka yakni
prilaku Sang Bhujangga, pasti dia akan morat-marit keluarga Bhujangga Waisnawa
itu”.
Demikian antara
lain, wejangan ida bhujangga Resi Madura.
Tahun berganti tahun,
kemudian bali ditimpa ciri-ciri buruk, karena sudah takdir Ida Sang Hyang Widhi.
Banyak Desa-Desa yang rusak, berperang antara sesamanya, seperti Desa Satria
hancur, demikian juga Desa Penatih, Desa Bun, Desa Badung, Desa Ketewel, Desa
Kuramas, Desa Pejeng, Pura Pusering Tasik, Desa Babahung Daerah Gianyar,
kesemuanya itu hancur berantakan. Kemudian Pura Kentel Gumi dan Pura-pura yang
ada diwilayah Klungkung rusak.
Sekarang
diceritakan Ida bhujangga aji Manu di Tabanan, mendengar kabar, bahwa kakaknya
yang bernama Ida Resi Madura tiba di Pura Pulaki Daerah buleleng, pada hari
Rabu Keliwon Wuku Dunggulan, Bulan Hinu Awidia, satuan 2, puluhan 0, icaka 1302
(1380 TM)
Keluar dari Pura
Pulaki, beliau tinggal di Desa Baratan. Saat ini ada pada jaman pemerintahan
Ida Dalem Sri Asmara Kepakisan di istana Swecapura. Sekian.
Diceritakan
sekarang Ida Bhujangga Resi Madura yang ada di Pura Pulaki Daerah Buleleng,
karena beliau sudah lama di sana, kemudian beliau meninggalkan Pulaki pergi
menuju Desa Baratan.
Pada tempat ini
beliau diberi nama Ida Rese Gede Madura, karena beliau terkenal mendirikan
sebuah parhyangan Widhi yang bernama pura Dalem Madura.
Lain dari itu juga
beliau mendirikan sebuah parhyangan Widhi yang disebut Pura Gunung Sari di Desa
Asah Danu, tempat memuja Ida Resi Markandheya yang telah lama mangkat.
Ida Resi
Markandheya moksah di hutan Basturi, Gunung Bhujangga Daerah Desa Sepang. Di
tempat itu almarhum menyimpan pajenengan (barang pustaka suci) yaitu alat-alat
upacara, seperti : Narabhajra, Siwakarana, dan sebagainya. Kemudian Ida Resi
Madura pergi ke Desa Panghyangan, Teledu Nginyah, Gumbrih, Batu Mejan dan
Suryabrata. Selanjutnya dari Suryabrata pergi ke Batan Gatas. Pada tempat
inilah beliau mendirikan sebuah parhyangan Widhi yang disebut Pura Dalem
Pauman, sebagai persembahyangan para kesatria, para punggawa dan para Brahmana
Bhujangga,
Setelah itu lalu
Ida Resi Madura pergi dari Batan Getas, menuju Desa Baratan, tempat tinggalnya
yang dulu. Ida Resi Gede Madura mempunyai dua istri. Istri yang pertama wanita
yang cantik molek dari Majapahit. Dari istrinya ini melahirkan dua putra
laki-laki. Yang sulung bernama Ida Bagus Surya bertempat tinggal di Batan Getas
dan yang bungsu bernama Ida Bagus Made Weka bertempat tinggal di Desa Kayu
Pinge, bersama ibu tiri beliau I Dewa Ayu Sapuh Jagat, berputra empat orang
yaitu : Ida Bagus Cakara, tinggal di Desa Jati Lewih yang kedua bernama Ida
Bagus Made Putra, tinggal di Banyu Asrep, yang ketiga bernama Ida Bagus Nyoman
Sudana, tinggal di Blambangan Jawa Timur dan yang keempat bernama Ida Bagus
Merta, tinggal di Gegelang.
Setelah beberapa
tahun lamanya Ida Resi Madura, kemudian lagi beliau mengambil istri. Dari
perkawinan beliau itu berputra buncing; yang laki-laki bernama Ida Resi Gede
Celong dan adiknya tidak disebutkan namanya. Ida Resi Gede Celong bertempat
tinggal di Desa Padang Jerak Daerah Mengwi.
Diceritakan
sekarang Ida Resi Gede Celong sudah lama tinggal di Desa Padang Jerak, kemudian
beliau pergi menuju Gunung Sari daerah Tabanan. Ida Resi mendengar kabar, bahwa
konon ada warganya yang tinggal di Desa Nyitdah yang bernama Ida Bagus Cakra.
Itulah sebabnya mereka saling bantu-membantu, saling asah, asih dan silih asuh.
Keduanya mahir akan mantra-mantra dan weda-weda, juga falsafah-falsafahnya
karena kedua orang itu bersaudara tunggal ayah. Mereka dapat mendirikan Pura
Jawa.
Pada tahun çaka
1322 (1400 TM) dalam pemerintahan Dalem Sri Asmara Kepakisan, Ida Resi Gede
Tamu setelah lama tinggal di Lukluk, kemudian pergi menuju Desa Canggu. Pada
tempat ini beliau membangun Desa dan mendirikan Pura Kamimitan Bhujangga yang
hari upacaranya setiap bulan gelap (Tilem) Bulan Hindu Wesaka. Beberapa tahun
lamanya beliau tinggal di sana, kemudian beliau mempunyai enam orang putra,
yang tertua bernama Ida Bagus Resi Gede Micer yang menengah bernama Ida Resi
Made Tambing, yang ketiga bernama Ida Resi Nyoman Mambang, yang keempat bernama
Ida Resi Ketut Ngawun, adiknya bernama Ida Wayan Dukuh, dan yang paling bungsu
bernama Ida Ayu Maserok. Sekian.
Kembali diceritakan
putranya Ida Resi Madura yang bernama Ida Bagus Made Putra tinggal di Desa
Banyuasrep, Desa Banyuatis nama sekarang, mempunyai putra seorang. Setelah
disucikan dengan upacara (Madiksa) bernama Ida Resi Kania. Beliau itu yang
dimohon melaksanakan upacara Pitra Puja di negara blambangan. Setelah tiba di
Blambangan maka ditemukan Ida Bagus Cangle, Putra Ida Bagus Sudana. Ida Bagus
Cangle menyembah, :Yang mulia Ida Resi Kania, hamba ini adalah putra Ida Bagus
Sudana. Hamba orang yatim piatu, ditinggal ayah dan ibu”.
Setelah Ida Resi
Kania mendengar atur Ida Bagus Cangle maka terkenanglah akan pamannya, hatinya
sesak, terharu dan penuh dengan kesedihan, serta keluarlah air matanya,
mempasahi pipinya, titik-titik jatuh kepangkuannya. Kemudian ia berkata “Wahai,
anakku Ida Bagus Cangle, marilah kembali ke Bali bersamaku”, demikian ujar Ida
Resi.
Sangat baiklah Ida
Resi, hamba ikut menghantar Ida Resi pergi ke Bali. Demikianlah sembah Ida
Bagus Cangle.
Ida Resi Kania lalu
menyelenggarakan upacara Putra Yadnya atas permintaan Dalem Blambangan. Setelah
upacara dan sajen-sajen itu dimantrai (didoakan), kemudian segera Ida Resi
membasmi beberapa Bade yaitu menara usung jenasah, dengan alat sebuah kaca.
Setelah Ida Resi Kania melaksanakan tugas, kemudian Sri Paduka Maharaja Blambangan
memberi punia yaitu hadiah sebesar enam puluh lima ribu uang kepeng dan sebuah
kaca suryakanta serta tongkat yang terbuat dari kayu jelawe, lalu segera Ida
Resi kembali ke Desa Banyuatis Bali diantar oleh Ida bagus Cangle.
Lama kelamaan Ida
Resi di Desa Banyuatis bersama Ida Bagus Cangle dan Ida Resi Gede Brata,
beranjangsana ke sebuah tetamanan. Dipekarangan tetamanan itu Ida Resi kania
memancangkan tongkatnya setelah lama tumbuhlah tongkat itu bercabang, beranting
dan berdaun. Dilihat oleh Ida Resi Kania, lalu berkata sama saudaranya yaitu
Ida Resi Gede Brata dan Ida Bagus Cangle.
“Wahai adikku
berdua, lihatlah tongkat itu tumbuh alangkah baiknya tempat ini dipergunakan
utuk tempat pemujaan Ida Bhatara”. Akhirnya tempat itu dipakai tempat suci,
yang diberi nama Pura Puja Lawe, tempat pemujaan Ida Resi Kania. Sekian.
Ceritakan sekarang
Ida Bagus Suci di Banjar, mengambil istri dari Blambangan, serta mempunyai
seorang putra bernama Ida Bagus Rajasa. Ia sangat sakti, berpengaruh dan
kata-katanya sangat bertuah (Wakbajra). Beliaulah sebagai nabe (pengajar)
masyarakat Buleleng bersama-sama dengan Ida Resi Kania.
Ida Bagus Cangle
sangat malu-malu duka akan dirinya karena ia sungguh pandai kepada segala ilmu
mantra, weda dan juga memiliki sebuah genta warisan untuk melaksanakan Upacara,
tetapi ia belum disucikan (diksa), mapodgala. Dari sangat malunya, lalu ia
pergi ke Dewa Mengwi, bertempat tinggal di Dasa Munggu Dukuh.
Putranya Ida Resi
Gede Brata yang bernama Ida Bhujangga Putu Jiwa, pergi ke Tabanan, bertempat
tinggal di Desa Braban. Lama kelamaan Ida Bhujanga Puta Jiwa mempunyai empat
orang putra, yang tertua bernama Ida Resi Marna, yang kedua bernama Ida Resi
Kerta, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Gede Tirtha, dan yang terakhir seorang
putri kawin ke Blambangan.
Akhirnya oleh
karena sudah takdir Ida Sanghyang Widhi Desa Braban itu hancur, ribut karena
semua ingin berkuasa. Dari itulah sebabnya keluarga Ida bhujangga Putu Jiwa
beramai-ramai pindah tempat menuju desa-desa yang terpencil ada ke Gunung Sari
ada yang ke Asah Badung dan ada juga yang ke Desa Patemon, bertempat tinggal di
banjar Uma yang bernama Ida Bhujangga Gede Tirtha. Ida bhujangga Nyoman Kerta
bertempat tinggal di Banjar Bubunan, Ida Bhujangga Ketut Marna bertempat
tinggal di Desa Patemon Banjar Belong. Selesai.
Tahun berganti
tahun, Ida Resi Gede Celong berputra seorang bernama Ida Resi Ketut Kintang
sedangkan Ida Bagus Cakra di Nyitdah mempunyai putra dua orang, yang tertua
laki-laki bernama Ida Resi Gede Tamu dan yang bungsu wanita sangat cantik paras
mukanya bernama Ida Ayu Istri Ayu. Ida Resi Gede Tamu bertempat tinggal di Desa
Lukluk.
Ida Resi Ketut
Kintang dan ida Resi Tamu kedua-duanya mempunyai istri yang sangat cantik molek
dan sempurna. Ida Bagus Cakra dari Nyitdah pergi ke Asah Danu, kemudian ke
Klating Dukuh.
Menjelang beberapa
tahun lamanya, lalu Ida Resi Ketut Kintang dan Ida bagus Cakra disertai
istri-istrinya meninggalkan Daerah Tabanan, tinggal di Desa Lukluk. Kemudian
Ida Resi Ketut Kintang ingin pergi ketempat-tempat suci (matirtayatra) pergi
dari Desa Lukluk, menuju Desa Taro. Pada tempat inilah ia membangun Desa, serta
menyucikannya setelah selesai membangun Desa, kemudian ia pergi ke Desa
Lod-Unduh. Di sini ia dihormati sekali oleh masyarakat Desanya karena ia sangat
berjasa. Setelah ia pergi dari Desa Lod-Unduh, menuju Desa Angkling. Pada
tempat ini Ida Ketut Kintang menyucikan Desa. Entah berapa tahun ia berada di
tempat itu, kemudian ia pergi dari Desa Angkling menuju Desa Banjar Buleleng.
Di Desa Banjar Ida Resi Ketut Kintang mempunyai putra laki-laki, seorang
bernama Ida Bagus Suci. Selesai.
Pada masa ini
keadaan negara Bali sangat aman dan sejahtera. Tetapi tidk lama dinikmati oleh
rakyatnya. Karena sudah takdir Ida Sanghyang Widhi, maka jaman huru-hara timbul
lagi dimana-mana. Para patih bahudanda dan seluruh prayogia dalam pemerintahan
Dalem Saganing, disurupi setan sehingga timbul kesombongan, mabuk-mabukan,
korupsi, perkosaan dan lain semacam itu, yang mengakibatkan kehancuran
masyarakat Bali. Desa antara desa, buruh tani antara buruh tani, kesemuanya
tidak lagi bersatu. Seperti Desa Buduk kacau, dengan demikian juga Dewa Warung,
Uma Dewi dan Canggu.
Seperti warga
Bhujangga Waisnawa yang ada di tempat-tempat kacau, lalu pergi ke Desa Sabaya.
Di tempat yang baru ini mereka menghormati prasastinya Sri Maha Raja Ragajaya,
yang pernah memerintah di Bali pada tahun çaka 1077 (1155 TM). Desa Sabaya itu,
sekarang disebut Desa Subaya, Daerah Kintamani, Bangli. Para Bhujangga terutama
Ida Resi Bhujangga yang ada di Desa Canggu, semuanya meninggalkan tempat itu,
pergi manuju Desa yang dianggap aman. Demikian pula Ida Resi Ketut Ngawun pergi
dari Desa Canggu menuju Desa Munggu.
Di Desa Munggu Ida
Resi Ketut Ngawun mempunyai putra tujuh orang, l ima orang laki-laki dan dua
orang wanita, yang itu : yang kepertama bernama Ida Ayu Siring Datu, yang kedua
bernama Ida Resi Gede Beneng, yang ketiga bernama Ida Resi Gede Kebyeng, yang
keempat bernama Ida Ayu Made Gebeh, yang kelima bernama Ida Resi Teka, yang
keenam bernama Ida Resi Gede Pelaga dan yang ketujuh bernama Ida Resi Gede
Rias. Selesai.
Diceritakan Ida
Resi Gede Mambang pergi menuju Desa Krobokan. Pada tempat yang baru ini Ida
Resi membangun Desa dan masyarakatnya. Beberapa tahun kemudian, Ida Resi Gede
Mambang tinggal di Desa Krobokan, kemudian ia mempunyai putra tiga orang yang
tertua bernama Ida Resi Gede Telaga yang menengah bernama Ida Resi Gede Belong
dan yang ketiga wanita bernama Ida Ayu Sari. Setelah Ida Ayu Sari akilbalik,
lalu diambil oleh Ida Resi Rempun dari Desa Batan Getas. Selesai upacara
perkawinannya itu, kemudian ia menetap tinggal di Desa Kesiman.
Diceritakan
sekarang Ida Resi Gede Tambing pergi ke Desa Tumbakbayuh. Pada tempat ini ia
membuat rumah dan kemudian beliau mempunyai putra tiga orang, yang tertua bernama
Ida Ayu Ampel, yang kedua bernama Ida Resi Gede Kerug dan yang ketiga bernama
Ida Resi Gede Gerah. Selanjutnya Ida Ayu Ampel diperistri oleh ida Resi Gede
Madri dari Desa Rangeb. Sedangkan Ida Resi Kerug mengambil istri ke Desa Munggu
bernama Ida Ayu Siring Datu yang akhirnya Ida Resi Gede Kerug menetap di Desa
Munggu.
Ida Resi Gede Gerah
mempunyai putra tiga orang yang tertua bernama Ida Resi Petung bertempat
tinggal di Desa Buduk, yang menengah bernama Ida Resi Talabah dan yang bungsu
bernama Ida Resi Gede Pusi.
Diceritakan I Wayan
Dukuh pergi ke Desa Pedungan. Telah lama ia tinggal di sana, kemudian ia
mempunyai putra tiga orang yang tertua bernama Ida Resi Gede Krebek, yang
menengah bernama Ida Ayu Made Gebris, dan yang terkecil bernama Ida Resi Gede
Curing.
Ida Resi Gede Micer
pergi ke Gelogor. Setelah lama beliau tinggal di sana, lalu beliau mempunyai
empat orang putera yang tertua bernama Ida Resi Gede Gunung, yang kedua bernama
Ida Resi Gede Pengkuh, yang ketiga bernama Ida Resi Kawi dan yang bungsu
bernama Ida Resi Gede Batur. Ida Resi Gede Pangkuh mengambil istri ke Pedungan
bernama Ida Ayu Made Gebris.
Berselang beberapa
bulan kedua laki-laki itu pergi ke Daerah Klungkung, tinggal di Desa Takmung.
Di sanalah Ida Resi mendirikan Geria tinggal di sebelah Timur jalan. Berselang
beberapa tahun ia ada di Desa Takmung kemudian ia mempunyai putra tiga orang.
Yang tertua bernama Ida Resi Gede Konol, yang lahir kedua kembar buncing, yang
lahir duluan bernama Ida Resi Gede Gereh namanya sama dengan nama pamannya,
yang lahir kemudiannya bernama Ida Ayu Made Sentok. Ida Resi Gede Konol
melakukan sukla brahmacari, yaitu tidak suka kawin. Ida Resi Gede Gerah yang
lahir kembar buncing, mempunyai istri yang cantik paras mukanya dan sangat
sempurna karena sangat dicintainya. Telah lama bersuami istri, maka beliau
mempunyai putra empat orang, laki-laki tiga orang dan seorang wanita. Putra
yang kepertama wanita mengikuti jejak pamannya melaksanakan sukla brahmacari
yaitu tidak berswami, tekun menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran pamannya
yaitu Ida Resi Gede Konol. Putra yang kedua dari Ida Resi Gede Gerah bernama
Ida Resi GedeBedul, bertempat tinggal di Desa Takmung, sebelah barat jalan.
Putranya yang ketiga bernama Ida Resi Gede Jempeng, bertempat tinggal di Desa
Lepang. Putranya yang paling bungsu bernama Ida Resi Gede Rengen, menetap
tinggal di Desa Takmung, sebelah Timur jalan. Kesemuanya itu telah beristrikan
wanita-wanita yang sangat cantik jelita paras mukanya. Ida Resi Gede Rengen
mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Resi Gede Made dan yang
kedua bernama Ida Resi Gede Natih. Ida Resi Gede Natih mempunyai putra dua
orang, yang tertua bernama Ida Resi Gede Sukerta dan yang kedua bernama Ida
Resi Made Marek.
Ida Resi Merek
mempunyai putra seorang bernama Ida Resi Ketut Nedeng. Ida Resi Gede Sukerta
mempunyai putra seorang bernama Ida Wayan Twara. Ida Wayan Twara mempunyai
putra dua orang, yang sulung bernama Ida Nyoman Rata dan yang bungsu bernama
Ida Ketut Merta.
Diceritakan Ida
Ketut Merta pergi ke Desa Lepang dipakai anak angkat oleh Ida Made Kaplug yang
bertempat tinggal di Desa Lepang. Lama kelamaan Ida Resi Bendul yang tinggal di
sebelah Barat jalan Takmung, mempunyai putera dua orang, yang kepertama bernama
Ida Ayu Memet, dan yang kedua bernama Ida Ketut Badung.
Ida Ketut Badung
mempunyai putra dua orang, yang kepertama bernama Ida Ayu Nasri, dan yang
bungsu bernama Ida Nyoman Sembing. Ida Ayu Nasri diperistri oleh Ida Rei Gede
Sukerta yang bertempat tinggal di Desa Takmung sebelah Timur jalan raya.Ida
Nyoman Sembing mempunyai putra tiga orang, yang sulung bernama Ida Nyoman
Kecis, yang kedua bernama Ida Ketut Slopogan. Ketiga saudara itu mengambil
istri ke Takmung sebelah Timur jalan.
Lama kelamaan Ida
Nyoman Kecis mempunyai putra seorang bernama Ida Wayan Keplag. Ida Ketut
Slopogan mempunyai putra dua orang, yang kepertama bernama Ida Ayu Cangkeng dan
yang kedua bernama Ida Made Kaplug. Ida Ayu Cangkeng diperistri oleh Ida Resi
Gede Angkling di Desa Takmung, Ida Made Kaplug mempunyai putra dua orang yang
kepertama bernama Ida Wayan Gledet dan yang kedua bernama Ida Made Gledit. Ida
Wayan Gledet berputra seorang bernama Ida Nyoman Mecutan. Ida Made Gledit
mempunyai putra dua orang, yang tertua bernama Ida Wayan Keteg dan yang bungsu
bernama Ida Nyoman Glogor.
Diceritakan Ida
Gede Kawi bertempat tinggal di Desa Glogor, mengambil istri yang bernama Ida
Ayu Sempok, Putra dari Ida Resi Gede Putu Keras dari Desan Batan Getas. Masalah
perkawinannya ini menimbulkan dalam kekeluargaan, belum selesai percekcokan
ini, tiba-tiba Ida Resi Gede Putu Keras pergi dari Desa Glogor berjalan
terlunta-lunta, akhirnya tinggal di Desa Buduk.
Beberapa tahun
kemudian tiobalah saatnya huru-hara di Negara Bali ini. Desa satu dengan Desa
lain bermusuh-musuhan sehingga menimbulkan pertikaian saling bunuh-membunuh
selain itu para petani tiada sempat mengerjakan sawah ladangnya. Hama aneka
ragam banyaknya memusnahkan hasil tanaman para petani. Yang paling berat
ditimpa hama, adalah daerah Gianyar, seperti Desa Kengetan, juga di Daerah
Badung, Desa Blahkiuh, Desa Gerih, Desa Mengwi, dan lain sebagainya.
Sekarang
diceritakanlah di Desa Nyitdah. Ada seorang Bhujangga Istri yang sangat cantik
molek paras mukanya dan sangat sempurna, adik Ida Resi Gede Tamu, diambil untuk
diperistri oleh Ida Resi Bhujangga Waisnawa yang bertempat tinggal di Desa
Tonja.
Ida Bhujangga Kerta
mengambil istri dari Desa Tabanan, bernama Ida Ayu Prabeng. Telah lama Ida
Bhujangga Kerta berlaki istri. Kemudian mempunyai putra dua orang, yang pertama
wanita bernama Ida Ayu Ketut Seyok dan yang kedua bernama Ida Resi Gede Mambang
yang bertempat tinggal di Desa Kerobokan. Sedangkan Ida Resi Gede Kekeran yang
tinggal di Desa Penampihan mengambil istri ke Gelogor bernama Ida Ayu Mesrok,
adik dari Ida Resi Gede Micer.
Diceritakan Ida
Resi Bhujangga Kerta di Desa Tonja lagi mengambil istri dan mempunyai Putra
seorang bernama Ida Resi Gede Mencur.
Berselang beberapa
tahun Ida Resi Bhujangga Kerta tinggal di Desa Tonja, kemudian timbulah
perselisihan di dalam keluarga itu, terutama yang menjadi percekcokan
ditimbulkan oleh Ida Resi Gede Limpar antara Ida Resi Bhujangga Kerta karena
malunya Ida Resi Bhujangga Kerta, kemudian beliau mengalah dan pergi dari Desa
Tonja bersama istri danputranya yang bernama Ida Resi Gede Mecur kembali ke
Desa Tangeb. Selain beliau membawa harta miliknya juga beliau membawa senjata
Bajra Uter. Kira-kira setahun Ida Resi Bhujangga Kerta ada di Desa Tangeb, lalu
putranya diajak oleh Igusti Gelogor yang tinggal di Desa Petiles. Telah lama Ida
Resi Gede Mencur tinggal di Desa Patiles, kemudian beliau kawin dengan Ni Gusti
Ayu Rebet adik yang paling kecil dari I Gusti Gelogor sesudah lama mereka dalam
pelaminan, lalu mempunyai putra empat orang, yang kepertama bernama Ida Resi
Gede Loka, yang menengah bernama Ida Resi Gede Mekel, yang ketiga bernama Ida
Resi Gede Tangkih, dan yang keempat Ida Resi Gede Kentong. Telah lama ada di
Desa Patilesan, maka keempat putranya itu sudah jejaka dan kemudian mereka
pergi dari desanya.
Ida Resi Gede Loka
menuju Desa Selingsingan. Ida Resi Gede Mekel pergi menuju Desa Kabakaba, Ida
Resi Gede Tangkih menuju Desa Pandakbandung dan Ida Resi Gede Kentong pergi ke
Desa Abianbase.
Beberapa tahun
kemudian dalam abad ketujuh belas Ida Dalem saganing mangkat, pemerintahan
dipegang oleh Pangeran Di Made yang diangkat menjabat Dalem pada tahun çaka
1587 (1665 TM)
Karena sudah
menjadi takdir Sang Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, maka pada tahun çaka 1608
(1686 TM) timbullah nafsunya I Gusti Widhya merebut kekuasaan Dalem Di Made
dengankekerasan sehingga Ida Dalem Di Made menyingkir ke Desa Gulingan.
Seketika dalam kejutan ini, rakyat menjadi bingung ada yang menyingkir ke
tempat-tempat yang dianggap lebih aman, dan ada juga yang masih menetap di Desa
Gelgel.
Para pegawai raja sebagian
besar masih taat menjunjung tinggi Ida Dalem, sedangkan yang sebagian kecil
tunduk kepada kebijaksanaan I Gusti Widhya.
I Gusti Widhya
menduduki istana Gelgel dengan gelar I Gusti Agung Maruti.
Di pelosok-pelosok
dusun banyak masyarakat desanya yang satu cekcok sama yang lain. Terutama Desa
Mangening, Desa Selingsingan dan desa-desa yang lainnya, yang ada dipegunungan.
Oleh karena demikian halnya, maka Ida Resi Gede Loka meninggalkan Desa
Slingsingan, menuju Desa Mengwi Tani ada juga keluarganya yang pergi menuju
Desa Sidan.
Dari Desa Sidan
pergi ke Desa Den Bukit, menuju Desa Hiliran, sebelah Timur Desa Buhundalem.
Pada tempat itulah belaiau menetap tinggal, terkenal bernama Ida Resi Sidan,
karena mulanya dari Desa Sidan. Beliau mengadakan keturunan pada tempat yang
baru itu. desa Hiliran sekarang disebut Desa Tejakula, sedangkan Desa
Buhundalam disebut Desa Bondalem.
Akibat dari
pengambil alihan pemerintahan ini selain desa-desa yang ada dipegunungan kacau,
desa-desa yang ada dekat dengan Kota Gelgel sangat ribut, antara pro dan kontra
I Gusti Agung Maruti.
Beberapa warga
Brahmana Bhujangga Waisnawa yang tinggal di Takmung sebelah Barat jalan raya
pergi meninggalkan desanya menuju desa-desa yang ada di Bali Utara.
Diceritakan di Desa
bulian, masyarakat diajak berperang oleh pemimpin desanya yang terkenal Jero
Pasek Bulian. Ia sudah sepakat bersama-sama dengan Jero Pasek Menyali, Jero
Pasek Bebetin, dan I Gusti Ngurah Tambahan, hendak membunuh seorang pengacau,
yang kini sudah diketahui jejaknya.
Pengacau itu
ternyata seorang wanita jangkung yang dahulu sudah disingkirkan oleh
keluarganya karena pandainya melakukan Ilmu Hitam, yang di Bali termasuk dengan
sebutan “Ngeleyak”. Karena saktinya ia sering menculik salah seorang penari
rejang yang paling kecil, dipakai mangsanya. Wanita jangkung ini tinggal di Goa
Raksasa, disebelah Barat Desa Jagaraga dan sebelah Selatan Desa Sangsit. Goa
Raksasa atau Goa Besar ini dahulu disebut pertapaan Dharmakuta, yang selesai
dibuat pada Bulan Hindu çaka 933 (1011 TM) jaman Raja Dharma Udayana Warmadewa
memerintah di Bali. Tempat tinggal yang kedua, yang dihuni oleh wanita jangkung
itu ialah Goa Yeh Lembu, yang ada dekat pantai. Wanita jangkung itu dapat
dibunuh oleh I Gusti Ngurah Tabanan, atas bantuan do’a yang diberikan oleh Jero
Dukuh. Jero Dukuh ini baru saja tinggal di Desa Bulian, tempat Warga Bhujangga
Waisnawa.
Setelah gugurnya
wanita jangkung itu, yang sangat ditakuti maka kini masyarakat Desa Bulian,
banyak yang tinggal di sebelah Timur Desa Bungkulan yang kini disebut Desa
Kubutambahan, para Bhujangga yang tinggal di Desa Bungkulan dan ada juga yang
tinggal di Desa Kubutambahan, kemudian beberapa tahun berselang ketutunan dari
Bhujangga ini ada juga yang tinggal di sebelah Timur perbatasan Desa
Kubutambahan. Ada juga yang ke Selatan tinggal di Desa Tamlang.
Lain dari pada itu,
ada juga yang terlunta-lunta menuju arah barat daya, yang akhirnya tibalah pada
suatu tempat yang sangat menyedihkan.
“Long Segaha”
(kurang makan). Demikian gerutu Sang Bhujangga, baru melihat penduduk desa itu
banyak yang sakit akibat kurang makan. Sawahnya tampak kosong, hanya ada rumput
dan tumbuh-tumbuhan padi yang layu. Ulatnya yang berwarna hijau, hitam dan ada
juga yang warna merah, memenuhi sawah, sehingga sukar menginjakkan kaki, bila
ke sawah. Masalah itulah yang menimbulkan keterharuan dan kesedihan Sang
Bhujangga setibanya di tempat yang sepi itu. Dari kesedihan Sang Bhujangga itu,
maka timbullah hasratnya untuk membuat upacara Bhuta Yadnya (upacara semah),
atau kurban suci terhadap Bhuta Kala untuk menolak bermacam-macam hama, yang
mengakibatkan paceklik di tempat itu. Setelah upacara yang diselenggarakan oleh
masyarakat dan dipujakan oleh Sang Bhujangga itu, maka dengan sekejap mata
seluruh hama itu hilang tiada bekas. Masyarakat sangat girang gembira hatinya
menjunjung tinggi Sang Bhujangga Waisnawa yang baru datang itu. Oleh
masyarakat, Ida Sang Bhujangga diberi tempat disebelah timur jalan setapak itu.
tempat itu kini disebut Desa Longsega. Di Desa Longsega inilah Ida Sang Bhujangga,
mendirikan pura, tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sekian.
Sekarang
diceritakan Ida Resi Bantas hendak akan menyelesaikan upacara Desa. Dari itulah
beliau akan memetik buah kelapa di Taman Hyang Sangsi. Ida Resi Bantas segera
berangkat sendirian dengan membawa tangga. Tak lama diperjalanan, maka
sampailah Ida Resi Bantas di Desa Tajeg di Desa Tajeg Ida Sang Resi berhenti
sebentar, sambil menunggu kedatangan anggota desanya. Lama Ida Sang Resi
menunggu, di pinggir jalan, tiba-tiba datanglah I Dewa Gede Moning, yang
tinggal di Puri Tangan. Ia diantar oleh seoran gbudaknya, dengan membawa
perlengkapan pakaian dan mahkota penari, karen aia akan menari tarian baris di
Desa Tua. Mendadak lalu I Dewa Gede Moning bertanya kepad Ida Resi Bantas,
katanya ; “Guru Resi yang terhormat, mengapa guru duduk di sini tanpa teman?”.
Menjawablah Ida
Resi Bantas dengan hormatnya, katanya ; “Sungguh benar Dewa Gede, Guru akan
mengerjakan pekerjaan Banjar, yaitu memetik buah kelapa di Taman Hyang Sangsi”.
“Jika sungguh demikian, mengapa sendirian ada di sini dan tangga itu harus
dikelilingkan di Taman!”. Demikian katanya I Dewa Gede Moning mengecewakan Ida
Sang Resi.
Kemudian menjawab
Ida Sang Resi Bantas, “Hai Desa Gede, jangan demikian kau mengeluarkan kata
kepada Guru. Sangat berani sikapmu. Apakah patut seorang Guru memikul tangga?”
Demikian kata Ida Resi sangat marah.
Kemudian segera I
Dewa Gede Moning menyahut, “Hai, Guru Resi, jika tidak dibenarkan Guru membawa
tangga, apa gunanya gotong royong bekerja di Banjar? Maksudmu akan duduk-duduk
saja supaya dapat menerima pembagian Banjar”.
Ida Resi segera
menjawab; “Kamu itu tidak benar Dewa Gede menuduh Guru mengandalkan tangan
orang lain, sebagai sikapmu membawa peralatan pakaian menari saja budakmu yang
membawakan. Apakah kau sendiri tidak bisa membawa peralatan itu? sungguh kau
yang mengandalkan tangan orang lain. Berbeda dengan Guru.” Demikian katanya Ida
Resi.
Akhirnya I Dewa
Gede Moning sangat marah, dengan segera mengunus keris lalu ditancapkan dilekuk
tulang – belikat Ida Sang Resi Bhujangga Bantas sampai tembus ke punggungnya.
Pada saat itu maka mencucurlah darah Ida Resi dengan derasnya dan sangat harum
baunya, kemudian rebah ke tanah.
Pada saat itu
barulah anggota Banjarnya tiba di tempat kejadian tersebut. Melihat kejadian
itu, dengan segera mereka membantu Ida Resi Bantas yang sudah sebagai Siwanya oleh
masyarakat Desa Bantas. Ida Resi segera diboyong dibawa ke taman. Sedangkan I
Dewa Gede Moning disorong-sorong oleh anggota Banjar itu, dan akhirnya ia
kembali ke Desa Rangan. Karena banyak mengeluarkan darah kemudian Ida Resi
Bantas segera dirangkul oleh masyarakat Banjar di bawa ke rumahnya. Ida Resi
Bantas mempunyai putra seorang bernama Ida Patra, tinggal di Tohpati, sebelah
Barat jalan dan sebelah Timurnya bukit. Ida Patra mempunyai empat orang putra,
yang paling tua bernama Ni Luh Darsa, yang kedua bernama Ni Made Darsi, yang
ketiga bernama Ida Nyoman Kunjar dan yang keempat bernama Ida Ketut Gita. Ida
Nyoman Kunjar berputra dua orang, yang tertua bernama Ida Gede Jajan dan yang
kedua bernama Ida Made Krosok. Selesai.
Kembali
diceritakan. Oleh karena Sang Bhujangga Waisnawa, sungguh-sungguh bisa meruat
dan menyucikan negara, itulah sebabnya, arwah para Bhujangga yang sudah ada di
samping Ida Sang Hyang Widhi, dipuja di dalam pura-pura warga desa, seperti
dalam Pura Bale Agung Desa Pengotan, dimana terdapat tempat atau pesimpangan
Ida Bhatara Ratu Sakti Bhujangga, Ida Bhatara Guru dan tempat pemujaan Ida
Bhatara Sakti Bagus Gede Madura. Di dalam Pura Puseh Turun Hyang, banjar Gunung
Hyang, masyarakat Desa Klungkung membuat tempat pemujaan Ida Bhatara Dalem
Solo. Demikian juga di dalam Pura Gede Pulaki di Bali Utara bagian Barat. Juga di
Desa Awan, masyarakat Desa Kintamani telah mendirikan Pura Bhujangga. Demikian pula
di Pura Puseh di Desa Awan, masyarakat telah membangun tempat pemujaan Ida Sang
Ratu Bhujangga. Demikian juga masyarakat Desa Kuwun, dan masyarakat Desa
Sukawana, mereka telah mendirikan tempat pemujaan Pura Bhujangga. Pada tempat
itu tersimpan dua buah sangku dan sebuah sungu (sankakala) sebagai hadiah dari
Ida Bhatara Guru, yang memerintah di Bali pada çaka 1248 (1326 TM). Lain lagi
yang dianugrahkan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan, yang memerintah di Gelgel
pada tahun çaka 1294 (1372 TM). Demikian pula di Desa Srokadan, Desa Ayunan dan
Desa Susut di Dalam Pura-puranya terdapat sebuah patung perwujudan Ida Bhatara
Hyang Guru, yang dipuja, oleh keturunan Sang Bhujangga Waisnawa di Desa
Srokadan.
Sekarang
diceritakan di Desa Tangeb, warga Sang Bhujangga Waisnawa di sana ribut. Dari
itulah sebabnya Ida Bhujangga Kerta sangat malu perasaannya, kemudian ia pergi
dari tempat itu, bersama keluarganya, istri dan anak bayinya, serta Gede Gowet
pergi dari Desa Tangeb menuju Penarungan. Di tempat inilah beliau tinggal dan
kemudian beliau banyak mengadakan putra-putri.
Diceritakan juga
dari Desa Tangeb Ida Resi pergi menuju Desa Uma Abian.
Telah lama Ida
Bhujangga Kerta tinggal di Desa Nyitdah. Kemudian beliau pergi menuju Desa
Rejasa Daerah Tabanan juga. Akhirnya beliau lagi dari Desa Rejasa menuju Desa
Ubung Paguyagan. Pada tempat yang baru inilah beliau menjadi “Siwa” (Guru) dan
dohormati oleh masyarakat Desa Ubung Peguyangan, Ida Bhujangga Kerta memegang
Pura Dalem Kahyangan di Batur Sanggwan, (Sanggwan merupakan tempat suci) di
sana Ida Bhujangga Kerta mempunyai putra tiga orang laki-laki kemudian setelah
dewasa, ketiga-tiga putranya mengambil istri, dan semuanya sudah berputra
banyak. Ida Bhujangga Kerta, karena sudah tua maka beliau menunjuk ketiga putranya
itu supaya ngamong pura-pura, seperti Pura Penataran Pauman, Pura Dalem
Kahyangan dan seorang putranya yang bernama Ida Resi Anom Ngamong Pura Batur
Senggwan, ketiga putranya itu semuanya pandai dan bijaksana menghayati dan
mengamalkan falsafah agama, Adigama, Siwagama dan Dewagama.
Kini diceritakan
Ida Resi Bhujangga yang bertempat tinggal di Tonja, mengambil istri sangat
cantik jelita, adik dari Ida Resi Gede Temu. Kemudian mempunyai putra empat
orang, yang tertua bernama Ida Bhujangga Resi Gede Limpar, yang menengah wanita
bernama Ida Bhujangga Ayu Swari, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Kerta alias
Ida Kerta Bhujangga dan yang keempat wanita bernama Ida Bhujangga Ayu Ketut
Munek.
Ida Resi Gede
Limpar menuju Desa Swecapura (Gelgel) dan akhirnya beliau pergi menuju ke Desa
Canggu. Sedangkan Ida Bhujangga Kerta pergi menuju Desa Padang Kerta, kemudian
setelah beberapa tahun beliau berada di Desa Padang Kerta, beliau mempunyai
putra tiga orang, yang tertua bernama Ida Bagus Citra. Setelah dinobatkan beliau
bernama Ida Sang Bhujangga Lewih, Putra yang kedua bernama Ida Bagus Gotra,
setelah dinobatkan ia bernama Ida Sang Bhujangga Ari, Putra yang ketiga bernama
Ida Bagus Met. Ida Resi berdua yaitu Ida Bhujangga Lewih bersama Ida Bhujangga
Ari membawa senjata yang disebut Bajra Uter pergi menuju Desa Padang Daerah
Karangasem, pada hari Senin, Pon Wuku Sinta, Bulan Hindu Srawana, satuan 6,
puluhan 0, Içaka 1606. telah lama mereka tinggal di Desa Padang, mereka
melanglang buana, mengelilingi Pulau Bali ini. Mereka berdua meninggalkan Desa
Padang Kerta, pergi menuju Desa Medahan.
Pada tempat ini
mereka berdua membangun Desa dengan jalan membuat Upacara Semah. Mereka berdua
sering pergi ke gunung-gunung mencari dan memuja di tempat-tempat suci
metirthayatra. Dari itu kedua resi ini sangat dihormati oleh masyarakat
Desanya. Serta setiap Desa yang dilalui menjadi selamat dan sejahtera. Kemudian
mereka pergi dari Desa Medahan menuju dusun yang kecil-kecil, memasuki
pondok-pondok, melewati desa kedasa, akhirnya tibalah di Desa Tonja, bertempat
tinggal di Badung dan beristirahat di Desa Batan Getas. Selesai.
Ida Bhujangga Ari
sendiri pergi dari Badung menuju Desa Tengeb Daerah Mengwi. Oleh karena sudah
menjadi peredaran jaman, maka kini kembali menjadi jaman kacau balau. Dengan
gerak kilatnya, I Gusti Ngurah Panji Sakti bersama-sama dengan Kyai Anglurah
Sidemen, Kyai Jambe Pule, membantu U Dewa Agung Jambe dapat mengurung Istana
Swecapura (Gelgel) dari kiri-kanan dan muka belakang. Keadaan ini pada tahun çaka
1627 (1705 TM). I Gusti Agung Maruti yang pada saat ini menjadi Raja di Bali
tidak dapat mempertahankan diri, akhirnya ia lari meninggalkan istana Gelgel
menyingkir menuju arah Barat.
Oleh karena
demikian situasinya, maka istana Gelgel dikuasai oleh Ida I Dewa Agung Jambe.
Rakyat yang ada di sekeliling Gelgel itu sangat kacau dan bingung. Banyak
diantara keluarga cekcok sama saudaranya, bahkan anak melawan ayah. Percekcokan
yang kecil seketika menjadi besar, bahkan saling bunuh-membunuh.
Masyarakat sudah
tidak akan ingat akan tugasnya, lupa akan dirinya dan tidak mengenal hukum.
Banyak yang lupa akan persaudaraan, tidak ingat dengan perintah raja, tidak
ingat nasehat alim ulama, dan tidak lagi melaksanakan perintah-perintah
Mentrinya, Bahudandanya dan Petugas Pemerintahan lainnya, sehingga masalah ini
berpengaruh ke desa-desa yang ada di seluruh Bali, seperti Desa Kapal serta
Pura seadanya hancur, Desa Beringkit dan Mengwi Tani hancur dan lain-lainnya.
Lima tahun telah
berlanjut keadaan yang buruk ini, kemudian pada tahun 1932 (1710), Istana
Gelgel atau Swecapura yang sudah ternoda itu dipindahkan ke Klungkung, bernama
Istana Asmarapura.
Sekarang
diceritakan Ida Bhujangga Luwih, karena sudah berusia lanjut, maka beliau
kembali ke Desa Tonja, Daerah Badung. Beliau mempunyai putra kembar bucing.
Oleh karena, didengar bahwa Desa Bun, Desa Bahe dan Desa Mengwi lagi rusak.
Desa Pacung Penebel, Mal Kangin dan Desa Kedungan, di Daerah Tabanan rusak,
maka Ida Bhujangga Lewih kembali lagi ke Desa Tangeb.
Kemudian beliau
pergi ke Barat, hutan pertapaan perbatasan Tabanan. Pada tempat ini beliau
dapat membangun sebuah Pura. Setelah selesai Pura itu, kemudian beliau pergi ke
Nyitdah, di sini beliau sangat dihormati oleh masyarakat Nyitdah. Putra-Putra
banyak menyebar, ada yang ke Canggu, ke Desa Lodsema, dan ada ke Desa Batan
Getas, kesemuanya bertugas membangun Desa dan meruatnya. Terakhir beliau pergi
ke Tegal Cangkring.
Sekarang di
ceritakan tiga orang saudara Ida Sang Bhujangga dari Desa Gelogor pergi
meninggalkan Desanya, menuju Bali Utara bagian Barat. Tiada diceritakan
perjalanannya mereka sampai di Desa banyuasrep. Di tempat yang baru ini mereka
membangun Desanya dan lahan dijadikan perkebunan. Ketiga-tiganya Ida Sang Guru
Bhujangga Gede, yang kedua diberi nama Ida Sang Guru Bhujangga Madya dan yang
ketiga diberi nama Ida Sang Guru Bhujangga Nyoman. Beberapa lama kemudian Ida
Sang Guru Bhujangga Gede dan Ida Sang Guru Bhujangga Madya pergi ke arah Utara
dan sampai di Desa Pengastulan. Di sana kedua beliau itu membangun desanya dan
melakukan upacara penolakan hama yang ada di sawah ladang. Tiada lama antaranya
Sang Guru Bhujangga Gede pergi menuju arah Timur dan tibalah beliau di Kota
Buleleng. Di sekelling Desa yang baru ini Ida Sang Guru Bhujangga Gede telah
menemukan beberapa aliran air bersih dan bening, dan akhirnya tempat ini
disebut Bayuning. Di Desa Banyuning ini beliau mapodgala, menjadi Ida Resi
Manospatika. Lengkap dengan Siwopakarana dan lontar-lontar tatwa dimilikinya.
Ida Resi mempunyai seorang putri. Oleh karena tidak punya putra laki-laki maka
beliau mengangkat seoran gputra dari siswanya yang dipandang pandai. Kemudia
putrinya itu dikawinkan dengan Putra angkatnya.
Sekarang
diceritakan Ida Bagus Citra alias Ida Bhujangga Lewih pergi dari Desa Tonja
menuju Desa Pejaten. Di tempat ini beliau mengambil istri yang sangat cantik
molek dan rupawan bernama Ni Gusti Ayu Drani, cucu dari I Gusti Rana, berasal
dari Desa Kediri. Ida Bagus Gotra alias Ida Bhujangga Ari pergi ke Desa Tonja,
menuju Desa Badung, Banjar Titih.
Setelah lama Ida
Bagus Citra tinggal di Desa Pejaten, kemudian ia mempunyai putra dua orang,
yang tertua bernama Ida Bagus Ngurah dan yang kedua bernama Ida Bagus Driya.
Oleh karena di Desa Pejaten keadaanya paceklik maka dari itu Ida Bagus Citra
pergi ke Gunung Sari menyertai leluhurnya yang telah mendahului bertapa di
tempat itu. tiada diceritakan ketekunan dan keteguhan tapa di tempat itu,
belakangan turunlah Ida Sang Hyang Sinuhun Kidul memberikan senjata Bajra Uter,
sambil menanyakan maksud dan tujuannya bertapa di Gunung Sari. Sabdanya,
“Wahai, kamu Bagus Citra, apa maksud dan tujuanmu bertapa di tempat ini, coba
terangkan”, demikian sabda Bhatara, lalu dengan hormat ia menyembah katanya,
“Dengan hormat Paduka Bhatara, harap dipermaafkan sekali hamba melakukan semadi
pada tempat ini, karena hamba sangat bodoh dan dungu tidak bisa hamba menolak
segala hama yang kini ada di sawah dan tanah ladang. Sungguh hamba tidak dapat
menguasai karena banyaknya. Apakah yang hamba harus perbuat supaya hama itu
musnah sama sekali. Masalah inilah yang hamba mohon kehadapan Ida Bhatara”,
demikian sembahnya.
“Wahai kamu Bagus
Citra, dengarlah pernjelasanku sekarang kepadamu. Apa sebabnya banyak ada hama
di kawasan Sesa Pejaten hal ini tidak lain karena masyarakat Desa Pejaten, kesemuanya
tidak ingat dengan perbuatan yang baik. Sebaliknya mereka selalu membuat
kekotoran atau kecemeran daerah dan negaranya. Sikap yang demikian itulah yang
menyebabkan banyak ada penyakit, hama ulat, wereng di sawah ladang”, demikian
sabda Ida Sang Hyang Sinuhun Kidul.
“Baiklah kalau
demikian”, sembah Ida Bagus Citra. “Apakah yang harus hamba kerjakan, hendaknya
supaya segala penyakit dan hama yang ada di kawasan Desa Pejaten hilang dan
musnah sama sekali.
Apabila tidak Ida
Bhatara yang akan memberi hamba petunjuk, pasti tidak boleh tidak akan hancur
Wilayah Desa Pejaten itu“ demikian sembahnya Ida Bagus Citra Seraya menyembah
dengan hormat.
“Nah kalau
demikian, Bajra Uter itu bawa pulang, putarlah Bajra Uter itu pada
tempat-tempat seperlunya, niscaya penyakit dan segala hama yang ada di kawasan
Pejaten akan basmi”, demikian penjelasan Ida Bhatara lalu Ida Bhatara seketika
menghilang tiada berbekas.
Oleh karena
demikian maka Ida bagus Citra segera pulang, kembali ke Pejaten. Tiada
diceritakan dalam perjalannya, segera tibalah Ida Bagus Citra di Desa Pejaten.
Selanjutnya ia langsung pergi ke sawah ladang seraya memutar Bajra Uter anugrah
Ida Bhatara Sinuhun Kidul itu, sambil memercikkan air suci yang sudah
dimantrai, disertai dengan beberapa sesajen penangkal hama dan penyakit (Abhuta
Yadnya). Setelah selesai Ida Bagus Citra melakukan tugas pengabdiannya kepada
masyarakat, kemudian daerah Desa Pejaten itu menjadi selamat, dan setiap tanam
di sawah maupun di ladang semuanya berhasil. Dari itu menyebabkan daerah itu
sangat-sangat senang, tenang dan tekun mengerjakan masing-masing pekerjaannya.
Berkat berhasilnya
Ida Bagus Citra ini, makin terkenal ia disebut Ida Resi Lewih, seperti
sebutannya yang dahulu.
Sekarang
diceritakan Ida Bagus Gotra telah lama tinggal di Banjar Titih, Badung,
kemudian ia pergi menuju Desa Tangeb. Ia mempunyai putra-putri banyak, ada yang
ikut ke Desa Tangeb dan ada juga yang menetap di Banjar Titih Badung.
Ida Resi Lewih di
Pejaten mendengar berita, bahwa Ida Bhujangga Aji yang tinggal di Batu Buah,
Desa Kedaton Siman, mempunyai putra seorang wanita. Oleh karena wanita itu
sudah akil bali, kemudian dipinang oleh Ida Resi Lewih untuk putranya yang
bernama Ida Bagus Driya. Ida Bagus Driya kawin dengan putri Ida Bagus Aji di
Batu Buah, upacara pernikahannya diselenggarakan oleh ayahnya berdua.
Ia menetap tinggal
di Batu Buah di rumah mertua.
Kini diceritakan
Ida Bhujangga Adhiguru dianggap cucu oleh Ida Bhujangga Resi yang bertempat
tinggal di Watuwulan. Ia mendengar kabar, bahwa Ida Bhujangga Aji Ratu yang
tinggal di Purassari mempunyai seorang putri bernama Ida Ayu Wati. Putri inilah
dibujuk Ida Bhujangga Adhiguru. Oleh karena sudah saling cinta mencintai
kemudian dua orang itu dikawinkan oleh Ida Bhujangga Aji Ratu dibuatkan upacara
perkawinan dan sudah diberi pelajaran-pelajaran ilmu utama. Selesai.
Tersebut sekarang
masyarakat Desa Watuwulan semuanya gelisah karena banyak ada penyakit menular
dan juga hama yang menimpa lahan sawah dan ladang di sana. Segala macam yang
ditanam pada lahan itu semuanya layu, mati tidak menghasilkan. Oleh karen
ademikian halnya, maka Ida Bhujangga Adhiguru segera berangkat ke Purassari, di
tempat itu beliau bersiap-siap akan bertapa, yoga dan semadi, mohon keselamatan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, karena teguh dan tekun imannya, bersemadi di
Purassari, kemudian datanglah Ida Sang Hyang Lumanglang, serta menanyakan
maksud dan tujuan Ida Bhujangga Adhiguru bersemadi sabdanya, “Wahai, kamu Sang
Bhujangga Adhiguru apa maksud dan tujuanmu bersemadi di tempat ini. Cobalah
terangkan kepadaku”.
Ida Sang Bhujangga
Adhiguru segera menyembah. Sembahnya, dengan hormat, “Mohon dipermaafkan hamba,
hamba bersemadi di tempat ini, karena masyarakat hamba banyak yang ditimpa
penyakit menular. Selain itu sawah dan ladang-ladang hamba, banyak ada hama,
sehingga masyarakat desa hamba keadaannya paceklik. Jika tidak paduka Bhatara
dengan ikhlas memberi karunia kepada hamba atau masyarakat itu, pasti
keadaannya akan lebih parah, disamping banyak yang mati kena penyakit dan juga
mati kelaparan”. Demikian sembahnya Ida Sang Bhujangga Adhiguru. Setelah itu,
dengan segera Ida Bhatara Lumanglang memberi anugrah kepada Ida Bhujangga
Adhiguru, berupa, Ilmu pengetahuan, penangkal marabahaya dan penolak hama ulat
tikus dan wereng, setelah terlaksana sajen dan upacara Bhuta Yadnya itu yang
dilaksanakan oleh Ida Bhujangga Adhiguru, maka segera akan menjadi sangat aman
tenang dan semua lahan sawah ladang, semua menghasilkan berlipat ganda.
Kemudian Ida Sang Bhujangga Adhiguru bertempat tinggal di Desa Kemenuh. Serta
sangat dihormati dan dipuji oleh masyarakat banyak.
Diceritakan
sekarang Ida Bhujangga Sutapateja putra dari ida Bhujangga Resi Estiguru
bertempat tinggal di Jabaha. Ia pergi ke arah Barat dan segera ia sampai di
pura Petawana.
Kini diceritakan
Ida Bagus Cakrawedana putra Ida Bagus Gotra bertempat tinggal di Desa Titih.
Beberapa tahun lamanya tinggal di Desa Titih, kemudian ia pergi menuju desa
Glogor. Dari Desa Glogor, Ida bagus Cakrawedana pergi ke Bali Utara menuju Desa
Pitu, sebelah Timur Buleleng. Di tempat ini ia membangun Desa dan melaksanakan
kurban untuk menolak hama dan penyakit masyarakatnya. Tetapi beberapa tahun
kemudian, Desa Pitu itu diserbu Bajak Laut yang datang dari arah laut. Desa
Pitu dibakar oleh perampok itu. penduduknya banyak yang lari ke Timur tinggal
di Desa Sembiran. Di sana mereka mendirikan rumah yang kemudian disebut Banjar
Bhujangga. Desa Sembiran. Selain itu ada juga yang pergi ke Desa Les. Sebelah
Timur Desa Hiliran (Tejakula), dengan membawa Siwopakarana yaitu alat-alat suci
yang membawa kebahagiaan. Di tempat yang baru ini ia dapat mendirikan tempat
pemujaan yang kemudian disebut Pamarajan Bhujangga.
Sekarang
diceritakan Ida Bhujangga Bagus Kerta putra Ida Bhujangga Kertu yang bertempat
tinggal di Watuwulan Pegambangan pergi dari Pegambangan, berjalan mengarah
Barat laut, dan akhirnya tibalah di Desa Sidimara, Daerah Buleleng. Desa
Sidimara itu kini disebut Desa Sangsit.
Selanjutnya
diceritakan Ida Bagus Buja, putra Ida Bhujangga Surantaka yang semula tinggal
di Sumerta kini pindah tempat tinggal di Desa Tenganan.
Diceriterakan
sekarang perjalanannya Ida Bagus Kotra. Putra Ida Bagus Gotra yang bertempat
tinggal di Desa Tangeb, pergi menuju Desa Tumbakbayuh. Demikian juga
perjalanannya Ida bagus Sucita adik Ida Bagus Kontra, ia pindah dari Desa
Tangeb menuju Desa Penamparan.
Ida Bagus
Camanaphala bersama Ida Bagus Mandiloka, Putra Ida Bhujangga Kertu, semula
bertempat tinggal di Desa Watuwulan Pegambangan, kini ia menuju arah Timur,
akhirnya Ida Bagus Camanaphala sendiri sampai di Klungkung (Asmarapura)
Pada tahun 1697
(1775 TM). Putra Ida Dewa Agung Jambe dilantik menjadi Raja, memerintah di
daerah Klungkung beristana di Asmarapura, dengan gelar Ida I Dewa Agung Di
Made. Mulai dari saat ini gelar kerajaan yang disebut “Dalem” ditiadakan,
karena sudah dianggap kalah, gugur. Dalam pemerintahannya beliau ingin sekali
mengembalikan keadaan negaranya, supaya seperti jaman keemasan sejak leluhurnya
baginda memerintah di Gelgel, yaitu Ida Bhatara Dalem Waturenggong.
Beberapa tahun
kemudian yaitu pada tahun Çaka 1702, (1780 TM) Ida Dewa Agung Di Made, bertanya
kepada Ida Bagus Cemanaphala, karena diketahui bahwa orang itu baru saja datang
dari luar daerah.
Sabda baginda
“Wahai, Sang Guru, akan kemana kepergian Guru sekarang”.
Kemudian menjawab
Ida Bagus Camanaphala, sembahnya, “Yah, paduka Dewa Agung, hamba Bhujangga
paduka, bernama Ida Bagus Camanaphala. Hamba ingin sekali keliling ke Pulau
Bali ini, untuk mengetahui perbatasan dari Barat ke Timur karena hamba ingin mengetahui
sejarah permulaannya adanya Pulau Bali ini. Demikianlah paduka I Dewa”.
“Ya jika demikian,
janganlah hendaknya hari ini meninggalkan tempat ini, karena ada permintaanku
kepada guru, mengenai tata pelaksanaan persembahyanganku, masalah ini, aku belum
kuasai. Bagaimana kiranya yang harus aku laksanakan sehingga negara dan
masyarakat bahagia dan sejahtera. Mengingat pula, setiap ada upacara di dalam
Pura Tolangkir warganya selalu mangkat, tidak bisa ditawar lagi. Apakah yang
menyebabkan demikian itu? Ya Ida Bagus, cobalah terangkan paduka sekarang jua!”.
Kini menyembah Ida
Sang Guru Camanaphala. Dengan Khidmatnya, “Baiklah Paduka I Dewa Agung, kalau
demikian masalahnya, setiap ada upacara di Pura Besakih Warga I Dewa mangkat,
dan jalan kemangkatannya aneh-aneh itu, menurut pandangan hamba, sesungguhnya
kalau Bhuta yang memangsa warganya I Dewa, apakah sebabnya begitu, karena Ida
Sang Bhujangga Resi tidak diikut sertakan memujakan di dalam Pura Tolangkir.
Karena Ida Bhujangga Resi memang berhak mengantar upacara bagi Kala Bhuta yang
disebut Abhuta Yadnya sebenarnya Ida Sang Brahmana Siwa tidak boleh
mengantarkan pujaan tawur atau Abhuta Yadnya serta memberi sesajen kepada Buta
Kala. Itu tidak boleh demikian sembah Ida Bagus Cemanaphala.
Kemudian bersabda lagi
Ida Dewa Agung di Made sabdanya “Baiklah Ida Bagus, jika demikian masalahnya,
sekarang inilah Sang Guru yang akan dilantik, ikut serta memuja di pura
Besakih, memberikan sesajen kepada Bhuta Kala, karena Sang Guru Bhujangga Resi
berhak dan wenang menyingkirkan Bhuta Kala itu”. demikianlah sabda Baginda di
Istana Asmarapura.
“Ya, baiklah jika
demikian maksud paduka, hamba menuruti. Sekarang dimanakah hamba tempatkan?”
Sembah Guru Bhujangga.
“Ya Sang Guru
Bhujangga Resi, di sana ada tempat berupa Tanah pelemahan sebagai tempat Sang
Guru bertempat tinggal melaksanakan upacara. Palemahan itu bernama Takmung.
Tiada diceritakan
Ida Bhujangga tinggal di Desa Takmung, banyak masyarakat Desanya yang
menghormati dan memujinya.
Keputusan sabda ini
pada hari Rabo, Wage, Wara Menahil tanggal dua Bulan Paro gelap, Bulan Hindu
Kedua, Satuan Empat Puluhan Empat Sakawarsa Ulungbangsit Satus Petang Dasa Pat.
Pada waktu itulah harinya keputusan I Dewa Agung Di Made, terhadap pelantikan
Ida Bagus Camanaphala turut sertanya memuja di dalam Pura Tolangkir atau Pura
Besakih.
Diceritakan
sekarang I Gusti Sakra yang bertempat tinggal di Desa Kerambitan, sangat duka
hatinya, karena lahannya lama ditimpa hama wereng, belalang, tikus dan ulat.
Kurang lebih dua belas tahun lamanya lahan I Gusti Sakra tidak menghasilkan.
Itulah sebabnya I Gusti Sakra dangat sedih hatinya melihat masyarakat desanya
kekurangan makan.
Pada suatu hari i
Gusti Sakra mengadakan rapat di paseban, yang dihadiri oleh sekalian warga
desanya.
Setelah semuanya
hadir, sedang mangatur tempat duduknya masing-masing, tiba-tiba muncul seorang
putus (ulama) datang ke paseban.
Kemudian dengan
sangat hormat I Gusti Sakra menyapa Ida Sang Putus, sapanya “Selamat datang
Sang Putus, siap nama tuan dari mana tuan datang dan dimana asal tempat tuan?
Coba terangkan kepada hamba!” Demikian sapanya I Gusti Sakra kini dengarlah
kataku kepadamu, kami ini bernama Ida Resi Esti Guru, pindah dari Desa
Watuwulan datang ke tempat ini, namaku Esti Guru, karena kami selalu mendo’akan
keselamatan dan kesejahteraan negara” sekian kata Sang Resi.
Ya, jika demikian
kata Sang Resi, sekarang hamba mohon kesempatan Sang Resi, bagaimana caranya
membudidayakan daerah hamba ini supaya baik, selamat, makmur dan sejahtera, di
sawah dan ladang semua hama supaya musnah. Hamba mengharap agar Ida Resi bisa
melaksanakannya. Apabila Ida Resi bisa melakukan hal itu, nanti Ida Resi bisa
tinggal di sini ikut mengasuh daerah hamba di sini, demikian permohonan I Gusti
Sakra.
Sekarang menjawab
Ida Resi Estiguru “Duhai Gusti Sakra nanti dimana akan tempat tinggal kami.
Tolong terangkan sekarang jua”.
Baiklah Ida Resi,
jika demikian halnya, ini ada pekarangan yang sangat baik bagi tuan, letaknya
di sebelah Timur jalan patut Ida Resi tinggal di sana”. Menjawab I Gusti Sakra.
“Ya, kalau
demikian, terlebih dulu kami kesana. Ijinkan dulu kami ke sana sekarang jua”.
Tiada diceritakan
dalam perjalanannya, segera tibalah Ida Resi Estiguru di tempat itu, lalu
dengan segera Ida mengenakan pakaian adat pujaannya. Setelah selesai duduk lalu
Ida mengucap weda dihadapan sesajen Bhuta Kalanya, menolah Bhuta Kala dan hama,
tikus, walangsangit, ulat wereng dari lahan pertanian dan mentera penangkal
penyakit yang ada di daerah itu. setelah semuanya bersuara, Genta Urag, Bajra,
Sungu (Sangkakala) dan lain-lainnya, kemudian musnalah semua hama itu tiada
berbekas di atas lahan pertanian akhirnya gembiralah masyarakat Desa itu,
terutama I Gusti Sakra yang menjadi pimpinan Desa itu, iapun heran melihat
kepandaian Ida Resi bisa mengamankan dan bisa mensejahterakan rakyat, sehingga
daerahnya menjadi makmur dan sentaosa.
Tiada diceritakan
Ida Estiguru bertempat tinggal di sana, kini Gusti Sakra menghimbau kepada
warga desanya, wahai sekalian warga desa, dari hari ini hongga tahun ketahun
apa bila kamu membuat upacara kematian, atau Pitra Yadnya, sekali-kali jangan
kamu mengundang orang lain, selain Ida Resi Estiguru. Pasti akan papa neraka akan
ditemuinya, bila jika kamu mengundang orang lain untuk memujakan sesajenmu.
Terus akan menemui kesengsaraan, sakit danpenyesalan kelak. Ingatlah, wahai
kamu sekalian beruntang budi dan jiwa kepada Ida Resi Estiguru.” Demikian
himbauan I Gusti Sakra yang ditujuan kepada anak buahnya sekalian.
Mendengar himbauan
itu, maka sekalian warga desa itu menyatakan kegembiraannya menghormati Ida
Resi Estiguru, karena dirasakan, apabila tida Ida Resi menyelamatkan daerahnya
pasti keadaannya akan lebih parah lagi, sentimen, saling tuduh, saling
menggurui, bunuh membunuh, perkosaan, banyak anak membunuh orang tua, siswa laki-laki
memperkosa guru wanita, setiap rumah ribut bertengkar karena perselisihan
paham. Pura umum maupun keluarga rusak, hancur begitu saja, karea tidak pernah
dipikirkan.
Telah lama Ida
Estiguru bertempat tinggal di sana kemudian ia didatangi oleh Sang Ayu
Murmakules yang diantar oleh rakyatnya, hendak memohon kehadapan Ida Sang
Bhujangga Guru. Sembahnya “Yang terhormat Ida Sang Resi Bhujangga Guru, harap
dipermaafkan kami, kami datang menghadap Ida Resi tiada lain hendak memohon
kesempatan Ida Resi, untuk membantu kami” demikian kata Sang Arya Mur Makules.
Setelah Ida Sang
Resi mendengar sabda Sang Ratu itu maka menyembah Ida Resi, sembahnya “Wahai
Sang Ratu, hamba ini adalah Sang Bhujangga milik Ratu, hamba terasa gugup
kepada kedatangan ratu kemari di antar oleh rakyat. Kira-kira apa keperluan
Ratu kemari, cobalah terangkan, agar kami mengetahui, tetapi harap dipermaafkan
sekali atas penerimaan hamba ini. Karena hamba tiada mempunyai tempat”.
“Baiklah Sang
Bhujangga kami, janganlah hal itu direpotkan Ida Resi, kami datang kemari,
bukan untuk mementingkan tempat duduk, melainkan kedatangn kami bernama Sang
Arya Makules, hendak memohon bantuan untuk mengobati putra kami yang kini
sedang sakit, menderita dari lama. Itulah sebabnya kmi datang kemari menghadap Sang
Guru Resi, mohon belas kasihan, Sang Guru mengobatinya?” demikian sabda Sang
Aji Mur Makules.
Menyembah Ida Resi
Bhujangga, “Wahai Ratu Sang Mur Makules. Maafkanlah hamba ini karena hamba
sungguh-sungguh manusia biasa, tidak bisa menghidupkan orang yang sudah mati,
kecuali Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dialah yang berkuasa di
Dunia ini, maupun di Dunia Dewata. Untuk kesembuhan putra ratu ini ada
permintaan hamba putra Ratu itu supaya datang ke Pura Jati yang tempatnya di
Timur berhadapanh dengan sungai pusat. Sukalah kiranya Ratu bersama putra
memuja memohon keselamatan pada tempat itu”.
Setelah selesai
ajakan itu, lalu dengan segera Ida Sang Arya Mas Makules bersama Ida Sang
Bhujangga Guru, diantar oleh rakyat baginda kembali ke istana Tabanan. Setiba
mereka di istana, maka segera Sang Arya Ramong, yang tadinya ada di atas
pembaringan, diangkat bersama-sama diajak ke Pura Jati.
Tidak diceritakan
dalam perjalanan, kemudian tiba di Pura Jati. Ida Sang Ramong dibaringkan di
luar Pura dn dijaga oleh ayahnda dan bunda bersama-sama rakyatnya. Siang malam
penjaga itu tidak kurang dengan hidangan-hidangan makanan maupun hidangan
ringan, terutama santapan yang dipersembahkan untuk Ida Bhujangga Guru. Oleh
karena Ida Sang Ramong sangat taat dan teguh imannya dalam melakukan tapa
semadi akhirnya ia segar bugar seperti sedia kala. Mereka kini bersiap-siap
akan kemabli ke Istana Tabanan. Untuk suatu peringatan, maka tempat yang tadi
itu, oleh Ida Sang Bhujangga, diberi nama Desa Asah sebagai tempat baginda
bercengkrama. Kemudian tempat itu juga disebut penataran, letaknya di sebelah
Barat Sungai Bara.
Setelah siap
kemudian mereka berangkat meninggalkan Pura Jati menuju Istana Tabanan.
Ida Sang Bhujangga
Guru dapat mendirikan sebuah Pura yang kemudian diberi nama Pura Dalem Madia,
terletak di Desa Bedugul. Selesai.
Kembali diceritakan
Ida Resi Bhujangga Resi Cakra, telah beristirahat sama Ni Ayu Waringin, Putri
dari Arya Agung Penebel yang kini tinggal di Gunung Sari.
Sekarang
diceritakan perjalanannya Sang Bhujangga Arya Subrata ke Desa Klating, untuk
memenuhi undangan masyarakat desanya.
Setelah tiba maka
sefera Ida Bhujangga Arya Subrata menghadapi sajen penyelamat daerah Desa
Klating. Dari itu seluruh penduduk desa itu gembira memuji kesaktian Ida
bhujangga Arya Subrata, sehingga masyarakat Desa Klating itu menjadi bahagia
dan sejahtra.
Sekarang
diceritakan lagi Ida Sang bhujangga Resi Cakra yang tinggal di gunung Sari. Ia
mendengar kabar, bahwa I Gusti Rajaki yang tinggal di Penatih sakit keras, itu
sebabnya Ida Bhujangga Resi Cakra pergi menuju arah Renggara dan akhirnya tiba
di Desa Penatih Utara. Pada tempat ini Ida Bhujangga Resi Cakra bertempat
tinggal.
I Gusti Rajaki yang
menderita sakit, segera minta obat kepada Ida Resi, setibanya I Gusti Rajaki dihadapan
ida Resi tiba-tiba lalu kumat penyakitnya, tiada ingat akan dirinya, oleh
karena demikian, maka dengan cepat Ida Bhujangga Resi Cakra mengobati, dan
akhirnya sembuh seperti sedia kala.
Demikian tingkah
lakunya Ida Bhujangga Resi Cakra di Desa Tembau Penatih, di tempatnya I Gusti
Rajaki diobati. Karena kepandaeannya, maka makin lama makin terkenal Ida
Bhujangga Resi Cakra yang kemudian makin hari makin banyak masyarakat desanya
memohon bantuannya.
Sekarang
diceritakan Ida Sang Bhujangga Resi yang ada di Watuwulan Pengambangan,
mempunyai putra lima orang, tiga-nan kakaknya itu, lalu ia pergi ke Desa
Watuwulan Pegambangan, untuk menyaksikan upacara perkawinan kakaknya itu, yaitu
Ida Bhujangga Estiguru. Perjalanannya mengarah ke Timur dan baru sampai di tengah
jalan, ia mampir di Desa Sumerta. Dengan tiba-tiba Ida Sang Bhujangga Surantaka
tercengan keheran-heranan memandang tata warna wajah mukanya yang sangat
cantik, senyum yang manis membangkitkankasih cintanya Ida Sang Bhujangga
Surantaka. Selanjutnya iapun memberanikan diri bertanya, katanya, “Wahai Ida
Ayu, kemana perjalanan Ida Ayu, sekarang?”.
Baiklah kakanda
Surantaka, dinda akan pergi ke Desa Watuwulan pegambangan, hendak menyaksikan
perkawinan kakak dinda yaitu Ida Bhujangga Esti Guru, karena sudah umum
kabarnya bahwa kakak dinda mengambil Ida Ayu Riris, putri Ida Bhujangga Resi.
Demikian katanya Ida Ayu Wulan, sambil tersenyum menatap ketampanan laki-laki
itu.
Setelah lama ia
bercakap-cakap di situ, kemudian kedua orang itu saling jatuh cinta, dan
akhirnya mereka kawin. Kedua orang itu kini tinggal di Desa Sumerta. Di tempat
ini Ida Sang Bhujangga Surantaka dihormati oleh masyarakat desanya.
Diceritakan
sekarang Ida Sang Bhujangga Estiguru bersama istrinya Ida Ayu Riris hendak akan
kembali pulang. Kemudian mereka meninggalkan Watubulan Pegambangan, pergi
menuju arah barat daya, dan akhirnya tiba di Desa Jungutbatu.
Di desa ini Ida
Bhujangga disapa oleh I Gusti Mongaring sapanya, “Yang terhormat Ida Sang Putus
hamba ingin bertanya kepada Sang Putus, akan kemana kiranya Ida Bujangga Resi?’
Kini menjawablah
Ida Sang Bhujangga Resi, katanya, “Wahai Gusti Mongaring, kami hendak akan
pulang ke Kalanting” demikian jawabnya.
“Yang terhormat Ida
Sang Bhujangga Resi, hamba ingin bertanya, mengapa daerah hamba selalu ditimpa
penyakit yang berat-berat, apa penyebab penyakit itu, demikian katanya I Gusti
Mongaring berbelas kasihan.
Orang laki-laki dan
dua orang wanita. Yang tertua bernama Ida Bagus Destigana, yang kedua bernama
Ida Bhujangga Surantaka, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Kertu, yang keempat
wanita bernama Ida Ayu Riris, dan yang kelima bernama Ida Ayu Mengol.
Ida Bagus Destigana
pergi menuju Desa Mengwitani. Di sana ia dipakai Guru atau “Siwa” oleh
masyarakat setempat. Ida Bhujangga Surantara pergi menuju Desa Sumerta dan
dipakai “Siwa” oleh masyarakat setempat, demikian ceriteranya.
Sekarang
diceritakan Ida Bhujangga Resi Cakra sudah mempunyai putra empat orang
laki-laki yang kepertama Sang Bhujangga Sakti, yang kedua bernama Sang
Bhujangga Kertu, yang ketiga bernama Ida Bhujangga Bagendra. Ida Bhujangga
Kertu, mempunyai kekasih bertempat tinggal di Desa Lambing dari itu ia tinggal
di tempat itu. Ida Sang Bhujangga Sakti pergi berjalan terlunta-lunta ke Bali
Utara akhirnya menetap di Desa Bondalem Daerah Buleleng. Ida Bhujangga Kerti
Udadia pergi menuju Desa Kemenuh, dan Ida Bhujangga Bagedra pergi menuju Desa
Kayuputih. Selesai.
Sekarang
diceritakan Ida Bhujangga Aryasubrata yang tinggal di Desa Klating. Ia Sudah
mempunyai putra empat orang dua orang laki-laki dan dua orang wanita, yang
pertama laki bernama Sang Bhujangga Canggu, yang kedua bernama Sang Bhujangga
Estiguru, yang ketiga wanita bernama Ida Ayu Wulan dan yang keempat bernama Ida
Ayu Bintang.
Setelah jejaka, Ida
bhujangga Estiguru kemudian ia mendengar kabar bahwa Desa Watuwulan
Pengambangan ada seorang gadis yang sangat cantik paras mukanya dan sangat
pandai, bernama Ida Ayu Riris dan Ida Ayu Mengol putri dari Ida Bhujangga Resi,
sebagai “Siwa” bagi masyarakat desa Watuwulan Pengambangan. Dari itu Ida
Bhujangga Estiguru dengan diam-diam menuju desa itu, dan segera tiba Ida
Bhujangga Estiguru di Desa Watuwulan Pegambangan, dan kemudian meminang Ida Ayu
Riris. Pinanganini sudah disetujuioleh orang tua gadis itu dan tidak beberapa
lama mereka itu dinikahkan.
Ida Ayu Wulan yang
ada di Desa Klanting mendengar perkawinan tersebut. Setelah mendengar
keterangan dan permintaan I Gusti Mongaring, lalu dengan segera Ida Bhujangga
Resi Estiguru bersama istrinya Ida Ayu Riris memuja sambil mendoa dihadapan
sesajen demi untuk keselamatan daerah yang dipegang oleh I Gusti Mongaring.
Setelah memercik-mercikkan air suci, kemudian masyarakat desa itu, semuanya
segar bugar seperti sedia kala. Demikian juga pada pertanian lahan sawah ladang
semuanya serba berhasil dan pasar menjadi ramai. Hal ini berkat kebijaksanaan
dan keakhliannya Ida Sang Bhujangga Esti Guru. Semua penyakit masyarakat
hilang. Demikian juga hama tikus, wereng, walang sangit, dan ulat yang beraneka
warna itu, musnah semuanya tiada berbekas.
I Gusti Mengaring
semakin percaya akan keunggulan Ida Resi bisa menolak segala marabahaya,
menangkal kala bhuta, iblis, setan dan segala penyakit yang dibuat oleh manusia
yang suka melaksanakan ilmu hitamnya.dari itulah negara dan daerah yang
dikuasai oleh I Gusti Mangaring selamat sentaosa dan berbahagia.
Setelah lama Ida
Resi Estiguru tinggal di desa Jagutbatu, lalu mereka pergi ke Desa Tahak. Di
tempat ini ia membangun desa, sehingga desa itu subur, bahagia dan sejahtera.
Beberapa tahun kemudian, lalu ia pegi dari Desa Tahak. Berjalan terlunta-lunta.
Tengah perjalanan, lalu ia menjumpai orang yang berjalan terhuyung-huyung,
bernama I Panyuhung. Melihat orang yang sengsara itu jadi timbulah belas
kasihan Ida Resi Estiguru. Kemudian iapun bertanya-tanya, katanya “Wahai, kamu
Panyuhung, kenapa kamu terhuyung-huyung di tengah jalan?” demikian kata Ida
Resi mengambil tangan I Panyuhung.
Kemudian I
Panyuhung menjawab dengan hormatnya, jawabnya “Yang terhormat Ida Resi, hamba
ini sangat sengsara, telah lama hamba ditimpa penyakit semacam ini, dan tidak
bisa diobati. Apakah sebabnya hamba ditimpa penyakit begini, hamba tidak tahu,
kini hamba mohon belas kasihan Ida Resi pada hari ini, untuk mengobati, supaya
hamba segar kembali seperti sedia kala.”
“Wahai kamu penyuhung
dengarlah keterangan-keteranganku ini. Adapun sebab kamu ditimpa penyait yang begini
berat, karena kamu dilupakan oleh Leluhurmu dari dulu yang mengadakankamu
sesungguhnya kaulah yang melanggar kewajibanmu sebagai anak. Engkau lupa kepada
gurumu, kepada Siwamu, terutama kepada Ida Bhujangga Resi Waisnawa” demikian
keterangan Ida Resi Estiguru.
Oleh karena sangat
kasihan Ida Resi, kemudian segera Ida Resi meruat kesepuluh cacat mental dan
fisiknya (Dasamala) i Panyuhung. Setelah berdoa dan memercikkan air suci kepada
anggota badannya I Panyuhung, akhirnya ia sembuh kembali seperti sedia kala.
Alangkah gembiranya i Panyuhung baru segar seperti biasa.
Sekarang
diceritakan Ida Sang Bhujangga Kerti Udadia di Desa kemenuh beristri dengan Ida
Ayu Mengol yang berasal dari Desa Watuwulan Pengambangan. Setelah selesai
Upacara Perkawinannya itu, kemudian mereka kembali ke Desa Tembau.
Kembali diceritakan
keadaan Ida Resi Bhujangga di Desa Tonja. Beberapa tahun ia ada di sana, lalu
ia berputra empat orang, yang kepertama lahir kembar Buncing yang laki-laki
bernama Ida Resi Gede Limpar, yang wanita bernama Ida Ayu Swari. Putranya yang
lahir kedua bernama Ida Keta Bhujangga dan yang terakhir bernama Ida Ayu Ketut
Munek.
Ida Resi Gede
Limpar bertugas memuja keselamatan negara di Desa Gelgel. Sudah lama ia tinggal
di Desa Gelgel kemudian ia pergi menuju Desa Canggu. Di Desa Canggu Ida Resi
Gede Limpar mempunyai putra dua orang, yang pertama bernama Ida Resi Gede
Kompol, bertempat tinggal di Desa Blega. Kemudian ia meninggalkan Desa Blega,
pergi menuju Desa Watuwulan.
Demikian asal-usul
keturunan Ida Sang Brahmana Bhujangga Resi Waisnawa, yang sampai kini tersebar
di Pulau Bali. Yang mula-mula berasal dari Pulau Jawa, seperti Ida Resi
Maekandheya, Ida Resi mustika dan Ida Resi Madura. Beliau-beliau itulah yang
mengadakan Brahmana Bhujangga Waisnawa yang ada di Jawa, Bali dan Lombok.